Hikayat Raja Najasyi
Syahdan, di masa-masa awal, kondisi umat Islam sangatlah memprihatinkan. Rasulullah mendapat permusuhan di sana-sini. Para sahabat didera siksaan hebat dari kaum kafir Qurays. Mereka amat menderita. Mekah terasa begitu sempit. Tatkala penindasan itu kian menjadi-jadi, baginda nabi memerintahkan sebagian sahabat berhijrah ke negeri Habasyah. “Sesungguhnya di bumi Habasyah terdapat seorang raja yang di wilayahnya tiada seorang pun terzalimi. Hijrahlah kalian ke sana dan berlindunglah di naungannya sampai Allah memberi jalan keluar dari kesempitan ini,” sabda beliau SAW.
Maka pergilah sekelompok sahabat ke Habasyah. Mereka berjumlah delapan puluh orang pria dan wanita. Sesampainya di sana, mereka merasa aman dan bisa menikmati manisnya ketakwaan tanpa seorang pun mengusik mereka. Akan tetapi, tak lama berselang, kaum Quraiys mencium keberadaan mereka. Siasat busuk pun dirancang.
Bani Quraisy mengutus dua orang yang cerdas dan cukup dengan pengalaman, yaitu ‘Amr bin ‘Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah ke Habasyah. Mereka membawa beragam hadiah untuk diberikan kepada raja Najasyi dan para menterinya. Setelah sampai, mereka menemui para pembesar Habasyah terlebih dahulu. Kepada setiap pembesar itu mereka memberi sejumlah hadiah sembari menebar hasutan, “Sesungguhnya ada beberapa orang bodoh dari negeri kami yang menyusup ke negeri kalian. Mereka keluar dari agama nenek moyang dan memecah belah kaum. Maka apabila kami menghadap maharaja untuk mengadukan perkara mereka, pengaruhilah maharaja agar mau menyerahkan mereka kepada kami tanpa menanyakan perihal agama mereka. Sesungguhnya kami, para pembesar mereka, lebih tahu tentang keadaan mereka dan tentang apa yang mereka yakini saat ini.”
Lalu Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah masuk menghadap raja dan bersujud menyembahnya. Raja Najasyi menyambut dengan tangan terbuka. Mereka menyerahkan hadiah-hadiah yang dibawa dari Mekah seraya menyampaikan salam penghormatan dari para pembesar Qurays. Mereka lantas mengadu, “Wahai raja, sesungguhnya ada segelintir orang bodoh dari negeri kami yang menyusup ke negeri tuan. Mereka telah meninggalkan agama kami, akan tetapi tidak masuk ke agama tuan. Mereka datang dengan agama baru yang kami tidak mengetahuinya secara persis. Kami diutus para pembesar kami untuk menemui tuan, agar tuan berkenan mengembalikan orang-orang ini kepada kami.”
Raja Najasyi menatap para menterinya sebagai isyarat meminta pendapat. Maka salah seorang dari mereka berkata, “Mereka benar wahai paduka, sesungguhnya kita tidak akan tinggal diam dengan agama baru yang mereka ada-adakan, dan sesungguhnya kaum mereka lebih tahu keadaan mereka dari pada kita.”
Tapi, nyatanya, Najasyi tidak terpengaruh, “Tidak, aku tidak akan menyerahkan mereka sampai aku mendengar apa yang mereka katakan dan tahu apa yang mereka yakini. Jika benar mereka dalam kejahatan, aku akan menyerahkan mereka kepada kaumnya. Namun jika mereka berada dalam kebaikan, maka aku akan melindungi dan berlaku adil kepada mereka selama berada di kekuasaanku.” Raja Najasyi pun kemudian memanggil orang-orang Islam itu untuk menghadapnya dan bertemu dengan utusan kaum Qurays.
Dengan sedikit perasaan gentar yang dirasakan sebagian dari mereka, kaum mukminin pergi menghadap sang raja. Mereka mendapati di sana ada Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka mengucapkan salam kepada raja lalu duduk. Amr bin Ash menatap sinis ke arah mereka “Mengapa kalian tidak bersujud kepada raja?” serunya. “Kami tidak bersujud kecuali kepada Allah,” jawab mereka.
Mendengar ucapan itu, sang raja merasa sangat heran, kemudian bertanya, “Macam apakah agama kalian ini, sehingga kalian meninggalkan agama kaum kalian dan tidak juga masuk ke dalam agama kami.?” Mendengar pertanyaan ini, Ja’far bin Abi Thalib, selaku juru bicara kaum muslimin menjawab:
”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutus seorang rasul di tengah kami. Namanya Ahmad. Kerasulannya telah dikabarkan oleh Isa bin Maryam Alaihissalam jauh sebelumnya. Ia menyeru kami kepada Allah untuk menyembah dan meng-esakan-Nya. Ia memerintahkan kami menunaikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan. Ia menuntun kami pada kebaikan serta menghalau kami dari perbuatan cela.
Najasyi bertanya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu yang dibawa rasulmu dari Tuhannya?”
Ja’far bin Abi Thalib menjawab,“Ya”
“Kalau begitu bacakanlah untukku!” perintah Najasyi. Ja’far pun kemudian membacakan surat Maryam ayat 16 sampai 24 yang mengisahkan tentang seorang perempuan suci yang dikaruniai putra bernama Isa Alaihissalam.
Menyimak lantunan ayat-ayat itu, Raja Najasyi menangis hingga jenggotnya basah oleh air mata, demikian juga para pendeta di sekelilingnya. Mereka semua menangis hingga lembaran-lembaran yang mereka bawa basah terkena linangan air-mata.
Raja Najasyi melihat ke arah Amr bin Ash dan kawannya, “Sesungguhnya apa yang ia baca dan apa yang dibawa Isa adalah benar-benar keluar dari satu misykat (sumber),” lirihnya. “Demi Allah, aku sama sekali tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian,” sambungnya. Kemudian ia bangkit pergi, diikuti oleh orang-orang yang bersamanya.
BERSAKSI
Tatkala tiba waktu pagi, Amr masuk menghadap Najasyi lagi. Ia berbisik pelan, “Wahai raja, sungguh mereka telah mengatakan sesuatu di depanmu, akan tetapi mereka menyembunyikan sesuatu darimu. Ketahuilah, mereka beranggapan bahwa Isa bin Maryam hanyalah seorang hamba.” Maka Najasyi memanggil mereka kembali dan bertanya, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”
Ja’far bin Abi Thalib menjawab, “Kami mengatakan seperti apa yang telah datang dari nabi kami SAW”
Raja bertanya lagi, “Apakah yang ia katakan?”
Ja’far menjawab, “Sesungguhnya Isa adalah hamba Allah, utusan-Nya dan kalimat-Nya yang dilahirkan lewat Maryam yang masih suci.” Mendengar ini Najasyi kemudian berkata, “Demi Allah, Isa tidaklah lebih dari apa yang kalian katakan itu.”
Mendengar perkataan Najasyi yang terakhir, para pendeta dan yang hadir saling beradu pandang dan berbisik satu sama lain. Mereka seperti mengingkari apa yang telah dikatakan oleh Najasyi. Maka Najasyi memandangi mereka sembari menukas, “Walaupun kalian mengingkarinya!”
Sesaat kemudian, ia berkata kepada Ja’far bin Abi Thalib beserta rombongannya, “Pergilah, sesungguhnya kalian aman di negeriku ini. Barangsiapa yang menyakiti kalian maka ia akan merugi. Sekali pun aku diberi gunung emas, aku tak akan menyakiti salah seorang di antara kalian.”
“Kembalikan semua hadiah itu kepada Amr dan kawannya,” perintahnya kepada seorang pelayan. “Kita tidaklah membutuhkan itu semua, dan sesungguhnya Allah tidak meminta uang sogokan dariku tatkala Dia mengembalikan kerajaan ini kepadaku, sehingga aku perlu mengambil uang sogokan setelah mendapatkan kekuasaan ini. Dan orang-orang tidak perlu patuh karena aku, sehingga aku pun harus patuh karenanya.”
Setelah kejadian itu, para pendeta menyiarkan kepada khalayak bahwa sang raja telah meninggalkan agamanya. Mereka menghimpun rakyat untuk memakzulkan maharaja dari tahta.
Mendengar rencana kudeta itu, Najasyi menulis surat kepada Ja’far dan para sahabatnya sambil menyiapkan sebuah perahu bagi mereka, “Naiklah kalian dan bersiaplah terhadap apa yang akan terjadi, jika aku kalah maka pergilah ke tempat yang kalian inginkan dan jika aku menang maka tetaplah di sini.”
Raja mengambil sehelai kertas dari kulit rusa dan menuliskan di atasnya, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang patut disembah selain Allah, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul terakhir-Nya. Aku juga bersaksi bahwa Isa adalah hamba dan rasul-Nya, ruh dan kalimat-Nya yang ia tiupkan kepada Maryam.”
Ia menggantungkan sehelai kertas tersebut di dadanya dan pergi. Dengan mengenakan pakaian kebesarannya, ia menemui rakyatnya. Tatkala sampai di depan mereka ia menyeru dengan gagah berani, “Wahai rakyat Habasyah, apa yang kalian saksikan pada diriku?”
“Engkau adalah raja yang bijaksana,” jawab mereka.
Raja bertanya lagi, “Apa yang kalian tidak suka dariku.?”
Mereka menjawab, “Engkau telah meninggalkan agama kami dan mengatakan bahwa Isa adalah seorang hamba.”
Najasyi berkata, “Apa yang kalian katakan tentang Isa?”
Mereka menjawab, “Ia adalah anak Allah.”
Najasyi pun kemudian meletakkan tangannya di atas sehelai kertas yang tergantung di dadanya, lalu, dengan suara menggelegar, berkata, “Dan aku bersaksi bahwa Isa tidaklah lebih dari sesuatu ini.” (maksudnya adalah tulisan yang tergores di kertas tersebut). Seluruh rakyat pun merasa gembira dan pergi meninggalkan raja dalam keadaan ridha.
Mendengar peristiwa yang terjadi antara Najasyi dan kaum muslimin, serta perlindungan yang diberikan kepada mereka, Rasul merasa sangat gembira. Beliau gembira terhadap kabar kecondongan Najasyi kepada Islam dan keyakinannya terhadap kebenaran Al-Qur’an. Hubungan antara Najasyi dan Nabi SAW pun menjadi baik dan erat.
Ref:http://cahayanabawiyonline.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar