Kami tidak lebih hanya para musafir kecil. Berjalan Keluar masuk melewati jalan-jalan di belantara mazhab. Di sini berhati-hatilah, siapa saja bisa tersesat dan berputar-putar dalam kesia-siaan. Banyak papan nama, baik yang baru dipasang atau yang sudah lama ada. Memilih jalan ini begitu mudah dan bahkan membanggakan bagi siapa saja yang tidak teliti. Akhirnya yang kami pilih adalah jalan dengan 'papan nama' yang sudah ada sejak lama. Inilah jalan kami, jalan ahlu al-sunnah wa al-jama'ah, jalan konservative, jalannya para pendahulu yang telah merintis dan menempuh jalan estafet dari Rasulullah SAW. Adapun jalan dengan papan nama yang baru dipasang kami ucapkan selamat tinggal. Biarkan kami memilih jalan ini, jalan tradisi Islam turun temurun yang sambung menyambung sanad: murid dari guru, dari guru, dari guru.... dari salafuna Shalih, dari tabi'ut tabi'in, dari tabi'in, dari sahabat, dari rasulullah Saw.
Inilah jalan kami.... Ahlussunnah Waljama'ah


Nabi Muhammad SAWW adalah Ummi



Dunia tahu betul kalau Muhammad ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Apakah orang liberal mampu membungkam kata dunia bahkan membungkam al-Qur’an serta bangsa Arab yang punya bahasa ummi, yang tidak punya arti lain kecuali tidak bisa baca dan tulis. Mereka berdalil:
 اقرأ كتابك كفى بنفسك اليوم عليك حسيبا (الإسراء: 14). .
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.”
Ayat ini mereka buat dalil Muhammad bisa baca dan tulis, padahal ayat sebelumnya jelas sekali siapa mukhotob ayat ini.

Syair Burdah

SYAIR BURDAH ALBUSHIRI 1

Cinta Sang Kekasih
Apakah karena Mengingat Para kekasih di Dzi Salam.
Kau campurkan air mata di pipimu dengan darah.
Ataukah karena angin berhembus dari arah Kazhimah.
Dan kilat berkilau di lembah Idlam dalam gulita malam.
Mengapa bila kau tahan air matamu ia tetap basah.
Mengapa bila kau sadarkan hatimu ia tetap gelisah.
Apakah sang kekasih kira bahwa tersembunyi cintanya.

Manaqib Syekh Bahauddin Naqsyabandi


Syekh Muhammad Bahauddin An Naqsabandiy Ra. Adalah seorang Wali Qutub yang masyhur hidup pada tahun 717-791 H di desa Qoshrul ‘Arifan,Bukhara, Rusia. Beliau adalah pendiri Thoriqoh Naqsyabandiyah sebuahthoriqoh yang sangat terkenal dengan pengikut sampai jutaan jama’ah dantersebar sampai ke Indonesia hingga saat ini.

Nama lengkap beliau adalah

Datuk Sanggul dan Kitab Barencong


Menurut riwayat, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari pernah bertemu dengan Datu Sanggul sewaktu masih menuntut ilmu di Mekkah. Dalam beberapa kali pertemuan tersebut, keduanya kemudian sharing dan diskusi masalah ilmu ketuhanan. Hasil dari diskusi mereka tersebut kemudian ditulis dalam sebuah kitab yang oleh orang Banjar dinamakan kitab Barencong. Siapakah Datu Sanggul?

Maulidan Yuk

Dalam sebuah kesempatan saat bersama para sahabatnya, Rosululloh S.a.w bertutur :"ajari anak-anak kalian 3 hal : @ baca alqur'an @ cinta Nabi kalian @ dan cinta keluarganya" (H.R. Atthobaroni). Nah, praktek, penerapan dan cara menumbuhkan cinta Nabi di hati kita, teramat banyak. Salah satunya adalah dengan memperingati hari kelahiran beliau, atau kita mengenalnya dengan istilah MAULID. Jadi, maulid adalah salah satu bentuk dan aplikasi, juga media untuk menumbuhkan rasa cinta pada Nabi.

Memang terjadi perdebatan keras soal maulid itu sendiri, ada sekelompok orang yang dengan begitu gigih mengingkarinya, dan menyatakan bahwa hal itu bid'ah, tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para salah shaleh setelahnya. Yang lebih ekstrem menyatakan, bahwa pelaku maulid adalah orang-orang yang tersesat. Sebuah stempel yang sangat mengerikan.

Terlepas dari semua itu,

Manakib Al Habib Husein bin Abubakar Alydrus ( Keramat Luar Batang )

a. Nara Sumber, sesepuh keluarga Al-Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus ialah Almarhumah Syarifah Muznah binti Husein Alaydus, kakak kandung Al-Habib Abu Bakar bin Husein Alaydrus, diceritakan kembali oleh penulis, semoga Allah SWT memberikan rahmat dan Maghfirah-Nya….Amiin.

b. Diktat sejarah Kampung Luar Batang, oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta/Dinas Museum dan Sejarah, 1982/1983




 
   

Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus dilahirkan di Yaman Selatan, tepatnya di daerah Hadhramaut, tiga abad yang silam. Ia dilahirkan sebagai anak yatim, yang dibesarkan oleh seorang ibu dimana sehari-harinya hidup dari hasil memintal benang pada perusahaan tenun tradisional. Husein kecil sungguh hidup dalam kesederhanaan.

Setelah memasuki usia belia, sang ibu menitipkan Habib Husein pada seorang “Alim Shufi”. Disanalah ia menerima tempaan pembelajaran thariqah. Di tengah-tengah kehidupan di antara murid-murid yang lain, tampak Habib Husein memiliki perilaku dan sifat-sifat yang lebih dari teman-temannya.



 



Kini, Al Habib Husein telah menginjak usia dewasa. Setiap ahli thariqah senantiasa memiliki panggilan untuk melakukan hijrah, dalam rangka mensiarkan islam ke belahan bumi Allah. Untuk melaksanakan keinginan tersebut Habib Husein tidak kekurangan akal, ia bergegas menghampiri para kafilah dan musafir yang sedang melakukan jual-beli di pasar pada setiap hari Jum’at.

Setelah dipastikan mendapatkan tumpangan dari salah seorang kafilah yang hendak bertolak ke India, maka Habib Husein segera menghampiri ibunya untuk meminta ijin.

Walau dengan berat hati, seorang ibu harus melepaskan dan merelakan kepergian puteranya. Habib Husein mencoba membesarkan hati ibunya sambil berkata : “janganlah takut dan berkecil hati, apapun akan ku hadapi, senantiasa bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya ia bersama kita.” Akhirnya berangkatlah Al Habib Husein menuju daratan India.

Sampailah Al Habib Husein di sebuah kota bernama “Surati” atau lebih dikenal kota Gujarat, sedangkan penduduknya beragama Budha. Mulailah Habib Husein mensi’arkan Islam dikota tersebut dan kota-kota sekitarnya.

Kedatangan Habib Husein di kota tersebut membawa Rahmatan Lil-Alamin. Karena daerah yang asalnya kering dan tandus, kemudian dengan kebesaran Allah maka berubah menjadi daerah yang subur. Agama Islam pun tumbuh berkembang.

Hingga kini belum ditemukan sumber yang pasti berapa lama Habib Husein bermukim di India. Tidak lama kemudian ia melanjutkan misi hijrahnya menuju wilayah Asia Tenggara, hingga sampai di pulau Jawa, dan menetap di kota Batavia, sebutan kota Jakarta tempo dulu.

Batavia adalah pusat pemerintahan Belanda, dan pelabuhannya adalah Sunda Kelapa. Maka tidak heran kalau pelabuhan itu dikenal sebagai pelabuhan yang teramai dan terbesar di jamannya. Pada tahun 1736 M datanglah Al-Habib Husein bersama para pedagang dari Gujarat di pelabuhan Sunda Kelapa.

Disinilah tempat persinggahan terakhir dalam mensyiarkan Islam. Beliau mendirikan Surau sebagai pusat pengembangan ajaran Islam. Ia banyak di kunjungi bukan saja dari daerah sekitarnya, melainkan juga datang dari berbagai daerah untuk belajar Islam atau banyak juga yang datang untuk di do’akan.

Pesatnya pertumbuhan dan minat orang yang datang untuk belajar agama Islam ke Habib Husein mengundang kesinisan dari pemerintah VOC, yang di pandang akan menggangu ketertiban dan keamanan. Akhirnya Habib Husein beserta beberapa pengikut utamanya di jatuhi hukuman, dan ditahan di penjara Glodok.




 






Istilah karomah secara estimologi dalam bahasa arab berarti mulia, sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (terbitan balai pustaka, Jakarta 1995, hal 483) menyebutkan karomah dengan keramat, diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam ajaran Islam karomah di maksudkan sebagai khariqun lil adat yang berarti kejadian luar biasa pada seseorang wali Allah. Karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap dan tingkah laku seseorang, yang merupakan anugrah Allah karena ketakwaannya, berikut ini terdapat beberapa karomah yang dimiliki oleh Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus atau yang kita kenal Habib Luar Batang, seorang wali Allah yang lahir di Jasirah Arab dan telah ditakdirkan wafat di Pulau Jawa, tepatnya di Jakarta Utara.

1. Menjadi mesin pemintal

Di masa belia, ditanah kelahirannya yaitu di daerah Hadhramaut – Yaman Selatan, Habib Husein berguru pada seorang Alim Shufi. Di hari-hari libur ia pulang untuk menyambang ibunya.

Pada suatu malam ketika ia berada di rumahnya, ibu Habib Husein meminta tolong agar ia bersedia membantu mengerjakan pintalan benang yang ada di gudang. Habib Husein segera menyanggupi, dan ia segera ke gudang untuk mengerjakan apa yang di perintahkan oleh ibunya. Makan malam juga telah disediakan. Menjelang pagi hari, ibu Husein membuka pintu gudang. Ia sangat heran karena makanan yang disediakan masih utuh belum dimakan husein. Selanjutnya ia sangat kaget melihat hasil pintalan benang begitu banyaknya. Si ibu tercengang melihat kejadian ini. Dalam benaknya terpikir bagaimana mungkin hasil pemintalan benang yang seharusnya dikerjakan dalam beberapa hari, malah hanya dikerjakan kurang dari semalam, padahal Habib Husein dijumpai dalam keadaan tidur pulas disudut gudang.



 Kejadian ini oleh ibunya diceritakan kepada guru thariqah yang membimbing Habib Husein. Mendengar cerita itu maka ia bertakbir sambil berucap : “ sungguh Allah berkehendak pada anakmu, untuk di perolehnya derajat yang besar disisi-Nya, hendaklah ibu berbesar hati dan jangan bertindak keras kepadanya, rahasiakanlah segala sesuatu yang terjadi pada anakmu.”

2. Menyuburkan Kota Gujarat

Hijrah pertama yang di singgahi oleh Habib Husein adalah di daratan India, tepatnya di kota Surati atau lebih dikenal Gujarat. Kehidupan kota tersebut bagaikan kota mati karena dilanda kekeringan dan wabah kolera.

Kedatangan Habib Husein di kota tersebut di sambut oleh ketua adat setempat, kemudian ia dibawa kepada kepala wilayah serta beberapa penasehat para normal, dan Habib Husein di perkenalkan sebagai titisan Dewa yang dapat menyelamatkan negeri itu dari bencana.

Habib Husein menyangupi bahwa dengan pertolongan Allah, ia akan merubah negeri ini menjadi sebuah negeri yang subur, asal dengan syarat mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menerima Islam sebagai agamanya. Syarat tersebut juga mereka sanggupi dan berbondong-bondong warga di kota itu belajar agama Islam.

Akhirnya mereka di perintahkan untuk membangun sumur dan sebuah kolam. Setelah pembangunan keduanya di selesaikan, maka dengan kekuasaan Allah turun hujan yang sangat lebat, membasahi seluruh daratan yang tandus. Sejak itu pula tanah yang kering berubah menjadi subur. Sedangkan warga yang terserang wabah penyakit dapat sembuh, dengan cara mandi di kolam buatan tersebut. Dengan demikian kota yang dahulunya mati, kini secara berangsur-angsur kehidupan masyarakatnya menjadi sejahtera.

3. Mengislamkan tawanan

Setelah tatanan kehidupan masyarakat Gujarat berubah dari kehidupan yang kekeringan dan hidup miskin menjadi subur serta masyarakatnya hidup sejahtera, maka Habib Husein melanjutkan hijrahnya ke daratan Asia Tenggara untuk tetap mensiarkan Islam. Beliau menuju pulau Jawa, dan akhirnya menetap di Batavia. Pada masa itu hidup dalam jajahan pemerintahan VOC Belanda.

Pada suatu malam Habib Husein dikejutkan oleh kedatangan seorang yang berlari padanya karena di kejar oleh tentara VOC. Dengan pakaian basah kuyub ia meminta perlindungan karena akan dikenakan hukuman mati. Ia adalah tawanan dari sebuah kapal dagang Tionghoa.

Keesokan harinya datanglah pasukan tentara berkuda VOC ke rumah Habib Husein untuk menangkap tawanan yang dikejarnya. Beliau tetap melindungi tawanan tersebut, sambil berkata : “Aku akan melindungi tawanan ini dan aku adalah jaminannya.”

Rupanya ucapan tersebut sangat di dengar oleh pasukan VOC. Semua menundukkan kepala dan akhirnya pergi, sedangkan tawanan Tionghoa itu sangat berterima kasih, sehingga akhirnya ia memeluk Islam.

4. Menjadi Imam di Penjara

Dalam masa sekejab telah banyak orang yang datang untuk belajar agama Islam. Rumah Habib Husein banyak dikunjungi para muridnya dan masyarakat luas. Hilir mudiknya umat yang datang membuat penguasa VOC menjadi khawatir akan menggangu keamanan. Akhirnya Habib Husein beserta beberapa pengikut utamanya ditangkap dan di masukan ke penjara Glodok. Bangunan penjara itu juga dikenal dengan sebutan “Seksi Dua.”

Rupanya dalam tahanan Habib Husein ditempatkan dalam kamar terpisah dan ruangan yang sempit, sedangkan pengikutnya ditempatkan di ruangan yang besar bersama tahanan yang lain.

Polisi penjara dibuat terheran-heran karena ditengah malam melihat Habib Husein menjadi imam di ruangan yang besar, memimpin shalat bersama-sama para pengikutnya. Hingga menjelang subuh masyarakat di luar pun ikut bermakmum. Akan tetapi anehnya dalam waktu yang bersamaan pula polisi penjara tersebut melihat Habib Husein tidur nyenyak di kamar ruangan yang sempit itu, dalam keadaan tetap terkunci.

Kejadian tersebut berkembang menjadi buah bibir dikalangan pemerintahan VOC. Dengan segala pertimbangan akhirnya pemerintah Belanda meminta maaf atas penahanan tersebut, Habib Husein beserta semua pengikutnya dibebaskan dari tahanan.

5. Si Sinyo menjadi Gubernur

Pada suatu hari Habib Husein dengan ditemani oleh seorang mualaf Tionghoa yang telah berubah nama Abdul Kadir duduk berteduh di daerah Gambir. Disaat mereka beristirahat lewatlah seorang Sinyo (anak Belanda) dan mendekat ke Habib Husein. Dengan seketika Habib Husein menghentakan tangannya ke dada anak Belanda tersebut. Si Sinyo kaget dan berlari ke arah pembantunya.

Dengan cepat Habib Husein meminta temannya untuk menghampiri pembantu anak Belanda tersebut, untuk menyampaikan pesan agar disampaikan kepada majikannya, bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang pembesar di negeri ini.

Seiring berjalannya waktu, anak Belanda itu melanjutkan sekolah tinggi di negeri Belanda. Kemudian setelah lulus ia di percaya di angkat menjadi Gubernur Batavia.

6. Cara Berkirim Uang

Gubernur Batavia yang pada masa kecilnya telah diramal oleh Habib Husein bahwa kelak akan menjadi orang besar di negeri ini, ternyata memang benar adanya. Rupanya Gubernur muda itu menerima wasiat dari ayahnya yang baru saja meninggal dunia. Di wasiatkan kalau memang apa yang dikatakan Habib Husein menjadi kenyataan diminta agar ia membalas budi dan jangan melupakan jasa Habib Husein.

Akhirnya Gubernur Batavia menghadiahkan beberapa karung uang kepada Habib Husein. Uang itu diterimanya, tetapi dibuangnya ke laut. Demikian pula setiap pemberian uang berikutnya, Habib Husein selalu menerimanya, tetapi juga dibuangnya ke laut. Gubernur yang memberi uang menjadi penasaran dan akhirnya bertanya mengapa uang pemberiannya selalu di buang ke laut. Dijawabnya oleh Habib Husein bahwa uang tersebut dikirimkan untuk ibunya ke Yaman.

Gubernur itu dibuatnya penasaran, akhirnya diperintahkan penyelam untuk mencari karung uang yang di buang ke laut, walhasil tak satu keeping uang pun diketemukan. Selanjutnya Gubernur Batavia tetap berupaya untuk membuktikan kebenaran kejadian ganjil tersebut, maka ia mengutus seorang ajudan ke negeri Yaman untuk bertemu dan menanyakan kepada ibu Habib Husein.

Sekembalinya dari Yaman, ajudan Gubernur tersebut melaporkan bahwa benar adanya. Ibu Habib Husein telah menerima sejumlah uang yang di buang ke laut tersebut pada hari dan tanggal yang sama.

7. Kampung Luar Batang
Gubernur Batavia sangat penuh perhatian kepada Habib Husein. Ia menanyakan apa keinginan Habib Husein. Jawabnya : “Saya tidak mengharapkan apapun dari tuan.” Akan tetapi Gubernur itu sangat bijak, dihadiahkanlah sebidang tanah di kampung baru, sebagai tempat tinggal dan peristirahatan yang terakhir.

Habib Husein telah di panggil dalam usia muda, ketika berumur kurang lebih 30-40 tahun. Meninggal pada hari kamis tanggal 17 Ramadhan 1169 atau bertepatan tanggal 27 Juni 1756 M. sesuai dengan peraturan pada masa itu bahwa setiap orang asing harus di kuburkan di pemakaman khusus yang terletak di Tanah Abang.

Sebagai mana layaknya, jenasah Habib Husein di usung dengan kurung batang (keranda). Ternyata sesampainya di pekuburan jenasa Habib Husein tidak ada dalam kurung batang. Anehnya jenasah Habib Husein kembali berada di tempat tinggal semula. Dalam bahasa lain jenasah Habib Husein keluar dari kurung batang, pengantar jenasah mencoba kembali mengusung jenasah Habib Husein ke pekuburan yang dimaksud, namun demikian jenasah Habib Husein tetap saja keluar dan kembali ke tempat tinggal semula.

Akhirnya para pengantar jenasah memahami dan bersepakat untuk memakamkan jenasa Habib Husein di tempat yang merupakan tempat rumah tinggalnya sendiri. Kemudian orang menyebutnya “Kampung Baru Luar Batang” dan kini dikenal sebagai “Kampung Luar Batang.”

Catatan :

Pengalaman masa lampau, tersiar khabar bahwa Al-Habib Husein membuang sejumlah uang ke laut di daerah “Pasar Ikan”. Tidak henti-hentinya para pengunjung menyelami tempat itu. Dengan bukti nyata, mereka mendapatkannya, sedangkan pada waktu itu, untuk dapat bekerja masih sukar di peroleh. Satu-satunya mata pencaharian yang mudah dikerjakan ialah, menyelam di laut. Dengan demikian, bangkitlah keramaian dikawasan kota tersebut, sehingga timbullah istilah “Mencari Duit ke Kota”

Penutup

1. Perayaan-perayaan tahunan di Makam Keramat Luar Batang.

a. Perayaan/peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, pada minggu terakhir di bulan Rabi’ul Awwal.

b. Perayaan/peringatan haulnya Al-Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus Keramat Luar Batang pada minggu terakhir di bulan Syawal.

c. Perayaan “akhir ziarah” pada bulan Sya’ban, yaitu pada 3 (tiga) hari atau 7 (tujuh) hari menjelang bulan suci Ramadhan.

Wasiat Nasehat Habib Abdullah Al - Aydrus Akbar

• Peraslah jasadmu dengan mujahadah ( memerangi hawa nafsu dunia ) sehingga keluar minyak kemurnian.
• Barangsiapa yang menginginkan keridhaan Allah, hendaklah mendekatkan diri kepada Allah swt, karena keajaiban dan kelembutan Allah terdapat pada akhir malam.
• Siapapun dengan penuh kesungguhan hati mendekatkan diri kepada Allah swt, maka terbukalah Khazanah Allah swt.
• Diantara waktu yang bernilai tinggi, merupakan pembuka perbendaharaan Ilahi, diantara zuhur dan ‘Asar, Magrib dan Isya dan tengah malam terakhir sampai Ba’da Subuh.
• Sumber segala kebaikan dan pangkal segala kedudukan dan keberkahan akan dicapai melalui ingat mati, kubur dan bangkai.
• Keridhoan Allah swt dan Rasulnya terletak pada muthalaah( mempelajari dan memperdalam ) Al qur’an dan hadits serta kitab-kitab agama islam.
• Meninggalkan dan menjauhi Ghibah adalah Raja atas dirinya, menjauhi namimah (mengadu domba) adalah Ratu dirinya, baik sangka kepada orang lain adalah wilayah dirinya, duduk bercampur dalam majlis dzikir adalah keterbukaan hatinya.
• Kebaikan seluruhnya bersumber sedikit bicara ( tidak berbicara yang jelek didalam bertafakur tentang Ilahi dan ciptaannya terkandung banyak rahasia.)
• Jangan kau abaikan sedekah pada setiap hari sekalipun sekecil atom; perbanyaklah baca Al qur ‘an setiap siang dan malam hari.
• Ciri-ciri orang yang bahagia adalah mendapatkan taufik dalam hidupnya, banyak ilmu dan amal serta baik perangi maupun tingkah lakunya.
• Orang yang berakal adalah yang diam (tidak bicara sembarangan)
• Orang yang takut pada Allah swt adalah orang yang banyak sedih (merasa bersalah)
• Orang yang Roja’ ( mengharap Ridho Allah ) adalah orang yang banyak melakukan ibadah
• Orang yang mulia adalah yang bersungguh-sungguh dalam kebaikan dan ridho Allah swt yang didambakan hidupnya.
• Orang yang bertaubat adalah yang menyesali perbuatannya, menjauhi pendengaran yang tidak bermanfaat, dan mendekatkan diri kepada Allah swt.

Syarifah Nafisah Ra

Syarifah Nafisah Ra

Seorang Syekh Sufi menuturkan, ada seorang pejabat kerajaan yang hendak menyiksa seseorang dari kalangan rakyat biasa. Orang ini lalu mencari perlindungan kepada seorang wanita yang zuhud, zahidah, putrid keturunan Rasulullah SAW, Syarifah Nafisah binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Wanita yang rajin ibadahnya itu kemudian mendoa’kan tamunya. Kepada orang itu, Syarifah Nafisah berpesan :
”Allah yang maha kuasa akan menutupi mata orang zalim, sehingga ia tidak bisa melihatmu.”
Orang itu lalu pergi. Sampai ditengah keramaian orang, disana sudah ada pejabat kerajaan bersama para pengawalnya. Pejabat itu bertanya kepada para pengawalnya,
“Dimana si Fulan?”
“Dia ada dihadapanmu, Tuan”. Mereka menjawab.
“Demi Allah, aku tidak melihatnya” ujar pejabat itu.
Berulang kali ia mencoba meyakinkan diri, tapi ia memang tidak melihat si Fulan. Para pengawalnya laku menceritakan kepada pejabat itu bahwa orang itu sebelumnya telah mengunjungi Syarifah Nafisah dan minta didoa’kan olehnya. Setelah berdoa’, Syarifah Nafisah mengatakan bahwa Allah SWT akan menutupi penglihatan orang yang akan berbuat zalim kepadanya.
Mendengar cerita itu, si pejabat merasa malu dan menyadari kesalahannya. Ia menundukkan kepala seraya berkata:
“Kalau begitu kezalimanku telah mencapai tingkat sedemikian rupa, sehingga karena doa’ manusia saja Allah SWT telah menutupi mataku dari melihat orang yang terzalimi! Ya Allah, aku bertobat kepadamu.”
Ketika pejabat itu mengangkat mukanya lagi, dia melihat orang yang dicarinya berdiri dihadapannya. Dia pun lalu mendoa’kan orang itu, mencium kepalanya dan menghadiahi seperangkat pakaian bagus. Dan tentu saja, membebaskannya dengan rasa kasih.
Sang pejabat kemudian mengumpulkan kekayaannya dan menyedekahkannya kepada orang-orang miskin. Ia juga mengirimkan seratus dirham kepada Syarifah Nafisah, sebagai tanda syukur, karena telah membuat dirinya bertobat. Syarifah Nafisah menerima uang itu dan membagi-bagikannya kembali kepada orang-orang miskin.

Salah seorang wanita yang menemaninya berkata:

“Wahai ibu, kalau ibu mau memberi saya sedikit uang, saya akan membeli sesuatu untuk berbuka puasa kita.”

“Ambillah benang ini dan juallah. Kita akan berbuka puasa dengan uang hasil penjualan itu.”
Jawab Syarifah Nafisah, yang bermata pencaharian memintal dan menjual benang-benang untuk kain. Wanita sahabatnya itu kemudian pergi menjual benang. Uang hasil penjualan dibelikan roti untuk berbuka puasa Syarifah Nafisah dan sahabat-sahabatnya.
Syarifah Nafisah lahir di Mekah, menikah dengan Ishaq Mu’tamin bin Ja’far Ash Shadiq. Kemudian hijrah ke Mesir, negeri tempat beliau menghabiskan waktunya selama sekitar tujuh tahun, sebelum akhirnya meninggal dunia pada tahun 208 H / 788 M.
Diceritakan menjelang wafatnya, Syarifah Nafisah sedang berpuasa, dan orang-orang menyarankan agar beliau membatalkan puasanya. Beliau berkata:
“Alangkah anehnya saran kalian ini. Selama tiga puluh tahun ini, aku telah bercita-cita hendak menghadap tuhanku dalam keadaan berpuasa. Apakah sekarang aku harus membatalkan puasaku? Tidak, tidak mungkin!”
Beliau lalu membaca ayat Al-Qur’an surah Al-An-‘am. Ketika sampai pada ayat “Bagi mereka Darussalam ( rumah kediaman ) di sisi Tuhan mereka dan dialah pelindung mereka disebabkan amal-amal saleh yang mereka kerjakan” ( ayat 127 ). Zahidah ini menghembuskan nafas terakhir.
Semasa kehidupannya di Mesir, terlihat orang-orang disana sangat menghormati dan mengaguminya. Diceritakan, ketika Imam Syafi’i pergi ke Mesir, beliau mendengar Syarifah Nafisah menuturkan hadits-hadits Nabi, dan selanjutnya meriwayatkan hadits dari Syarifah Nafisah itu. Ketika Imam Syafi’i wafat, Syarifah Nafisah melakukan salat jenazah di hadapan jenazah sang Imam. Kemudian beliau mendirikan tempat tinggalnya tidak jauh dari makam Imam Syafi’i, dan sampai meninggalnya beliau tetap disana.
Sebelum wafat, Syarifah Nafisah menyuruh orang menggali kubur untuknya, dan membacakan di atasnya Al-Qur’an sebanyak enam ribu kali tamat. Dan, ketika beliau meninggal dunia seluruh Mesir diliputi suasana berkabung yang sangat mendalam, ratap dan tangis serta doa’ terdengar dari setiap rumah. Jenazah Syarifah Nafisah dikuburkan di rumahnya di Darb Samah, dekat Kairo, Mesir.
Makam Syarifah Nafisah termasyhur, karena orang-orang yang menziarahinya dan bertabaruk kepadanya merasakan doa’nya terkabul. Diceritakan, pernah suaminya, Sayyid Ishaq, menginginkan agar jenazah isteri tercintanya dibawa ke Madinah untuk dikuburkan disana. Namun orang-orang Mesir memohon agar jenazah zahidah itu tidak dipindahkan. Sayyid Ishaq akhirnya mengalah. Masyarakat Mesir rupanya menginginkan agar mereka biasa senantiasa berdekatan dengan beliau, yang memiliki maqam keberkatan dan karamah tinggi.
Sang suami sendiri ternyata sempat bermimpi ditemui Rasulullah SAW, yang mengatakan kepadanya:

“Wahai Ishaq, janganlah engkau berdebat dengan orang-orang Mesir karena Nafisah; sebab melalui maqamnya rahmat Allah akan tercurah kepada mereka.:”
( Dikutip dari Majalah Al-Kisah No.15 / tahun III / 18-31 juli 2005 )

Al-Magfurlah Al-Habib Salim bin Jindan

Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin ‘Umar bin ‘Abdullah (Bin Jindan) bin Syaikhan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim adalah ulama dan wali besar ini dilahirkan di Surabaya pada 18 Rajab 1324. Memulakan pengajiannya di Madrasah Al-Khairiyyah Surabaya sebelum melanjutkan pelajarannya ke Makkah, Tarim dan Timur Tengah. Seorang ahli hadis yang menghafal 70,000 hadis ( ada yang mengatakan ratusan ribu hadis). Beliau juga seorang ahli sejarah yang hebat, sehingga diceritakan pernah beliau menulis surat dengan Ratu Belanda berisikan silsilah raja-raja Belanda dengan tepat. Hal ini amat mengkagumkan Ratu Belanda, lantas surat beliau diberi jawaban dan diberi pujian dan penghargaan, sebab tak disangka oleh Ratu Belanda, seorang ulama Indonesia yang mengetahui silsilahnya dengan tepat. Tetapi tanda penghargaan Ratu Belanda tersebut telah dibuang oleh Habib Salim kerana beliau tidak memerlukan penghargaan.
Dalam usaha dakwahnya, beliau telah mendirikan madrasah di Probolinggo serta mendirikan Majlis Ta’lim Fakhriyyah di Jakarta, selain merantau ke berbagai daerahIndonesia untuk tujuan dakwah dan ta’lim. beliau juga mempunyai banyak murid antaranya Kiyai Abdullah Syafi`i, Habib Abdullah bin Thoha as-Saqqaf, Kiyai Thohir Rohili, Habib Abdur Rahman al-Attas dan masih banyak lagi.
Habib Salim juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga dipenjarakan oleh Belanda. Di zaman penjajahan Jepang, beliau juga sering dipenjara karena ucapan-ucapannya yang tegas, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia, beliau juga sering keluar masuk penjara karena kritikannya yang tajam terhadap kerajaan, apalagi dalam hal bersangkutan dengan agama yang senantiasa ditegakkannya dengan lantang.
Sifat dan kepribadian luhurnya serta ilmunya yang luas menyebabkanbanyak yang berguru kepada beliau, Presiden RI ir. Soekarno sendiri pernah berguru dengan beliau dan sering dipanggil ke istana oleh Bung Karno. Waktu Perjanjian Renvil ditandatangani, beliau turut naik keatas kapal Belanda bersama pemimpin Indonesia lain. Beliau wafat diJakarta pada 10 Rabi`ul Awwal dan dimakamkandi Masjid al-Hawi, Jakarta……Al-Fatihah.
Ratapan 10 Muharram – Fatwa Habib Salim

Lantaran Revolusi Syiah Iran yang menumbangkan kerajaan Syiah Pahlavi, maka ada orang kita yang terpengaruh dengan ajaran Syiah. Bahkan ada juga keturunan Saadah Ba ‘Alawi yang terpengaruh karena termakan dakyah Syiah yang konon mengasihi Ahlil Bait.
Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan telah menulis sebuah kitab membongkar kesesatan Syiah yang diberinya judul “Ar-Raa`atul Ghoomidhah fi Naqdhi Kalaamir Raafidhah”. Berhubung dengan bid`ah ratapan pada hari ‘Asyura, Habib Salim menulis,  diantaranya:
• Dan di antara seburuk-buruk adat mereka daripada bid`ah adalah  kaum Rawaafidh (Syiah), yaitu meratap dan menangis setiap tahun pada 10 Muharram hari terbunuhnya Imam Al-Husain. Maka ini adalah satu  dari dosa-dosa besar dan azab bagi pelakunya, tidak sewajarnya bagi orang yang berakal untuk meratap seperti anjing melolong dan menggerak-gerakkan badannya.
• Rasulullah SAW telah melarang orang yang meratap. Dan di antara perkara awal yang diminta oleh Rasulullah sSAW daripada wanita-wanita yang berbaiah adalah supaya mereka meninggalkan perbuatan meratap terhadap si mati, di mana Rasulullah SAW bersabda: “Dan janganlah kalian merobek pakaian, mencabut-cabut rambut dan menyeru-nyeru dengan kecelakaan dan kehancuran”.
• Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadis daripada Sayyidina Ibnu Mas`ud r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah daripada golongan kami orang yang memukul dada, mengoyak kain dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (yakni meratap seperti ratapan kaum jahiliyyah).” Maka semua ini adalah perbuatan haram dan pelakunya keluar daripada umat Muhammad SAW sebagaimana dinyatakan dalam hadis tadi.
• Telah berkata asy-Syarif an-Nashir li Ahlis Sunnah wal Jama`ah ‘Abdur Rahman binMuhammad al-Masyhur al-Hadhrami dalam fatwanya: “Perbuatan menyeru `Ya Husain’ sebagaimana dilakukan di daerah India dan Jawa yang dilakukan pada hari ‘Asyura, sebelum atau selepasnya, adalah bid`ah madzmumah yang sangat-sangat haram dan pelaku-pelakunya dihukumkan fasik dan sesat yang menyerupai kaum Rawaafidh (Syiah) yang dilaknat oleh Allah. Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia merupakan golongan mereka dan akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat.”
Janganlah tertipu dengan dakwah Syiah. Pelajarilah betul-betul pegangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah dan berpegang teguh dengannya. Katakan tidak kepada selain Ahlus Sunnah wal Jama`ah, katakan tidak kepada Wahhabi, katakan tidak kepada Syiah.
Ulama dan Pejuang Kemerdekaan
Ulama Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan.
Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu: Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Ali bin Husein Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Jindan (Otista). Hampir semua habaib dan ulama diJakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan – yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.
Lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969), nama lengkapnya Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya.
Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), HabibMuhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Cholil bin Abdul Muthalib (Kiai Cholil Bangkalan), dan Habib Alwi binAbdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.
Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar. Kalau dihitung, sudah ratusan ulama besar yang ia kunjungi.
Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits. Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.
Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, “Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyuan, ketenangan dan kharisma mereka.”
Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib Salim pernah berkata, ”Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan.”
Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.
Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa: dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, hubbul wathan minal iman – cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman.
Kembali Berdakwah
Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembalin berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.
Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.
Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta, ”Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati?” Maka jawab Habib Salim, “Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai.”
Lalu kata pendeta itu, “Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa — menurut keyakinan Habib — belum mati, masih hidup.”
“Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang,” jawab Habib Salim enteng. Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.
Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh. Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan. “Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin,” kata Habib Salim kala itu.
Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur.
Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka. Mereka, misalnya, membuka majelis taklim dan menggelar maulid (termasuk haul Habib Salim) di rumah peninggalan Habib Salim di Jalan Otto Iskandar Dinata.
Belakangan, nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim – dua putra almarhum Habib Novel. “Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.
Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak keluarga. ”Kewajiban kaum muslimin, khususnya orang tua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain.”
Disarikan dari Manakib Habib Salim bin Jindan karya Habib Ahmad bin Novel bin Salim

Imam al-Nawawi [631 - 676H]

Imam al-Nawawi [631 - 676H]
Imam al-Nawawi dilahirkan di sebuah kampung bernama Nawa di daerah Hauran sebelah selatan kota Damsyik, Syria pada bulan Muharram 631H. Nama penuh beliau ialah Muhyiddin, Abu Zakaria, Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Hizami, al-Haurani, al-Syafii. Beliau hidup di kalangan ahli keluarga yang sangat menghargai ilmu agama.
Imam Nawawi pindah ke Damsyik dan tinggal di madrasah al-Rawahiyyah pada tahun 649H semata-mata untuk menuntut ilmu. Beliau sangat tekun menuntut ilmu agama dan berjaya menghafal kitab al-Tanbih hanya dalam masa 4 setengah bulan sahaja. Pada bulan berikutnya dalam tahun itu beliau berjaya menghafal ¼ kitab al-Muhazzab di bawah bimbingan gurunya iaitu Ishaq bin Ahmad al-Maghribi.


Beliau kemudian berangkat bersama bapanya untuk menunaikan fardu haji. Di sana beliau telah menetap di kota Madinah selama sebulan setengah dan mengalami sakit di sepanjang perjalanannya.
Abu al-Hasan bin al-‘Atthar – salah seorang muridnya – menceritakan bahawa gurunya iaitu Imam al-Nawawi memberitahunya yang dia belajar sebanyak 12 pelajaran dengan para gurunya setiap hari. Subjek tersebut sama ada dalam bentuk huraian atau pembetulan. Subjek pelajarannya adalah seperti berikut:
2 subjek menggunakan kitab al-Wasith (fiqh)
1 subjek menggunakan kitab al-Muhazzab (fiqh)
1 subjek menggunakan kitab al-Jam’u baina al-Sahihain (hadis)
1 subjek menggunakan kitab al-Sahih Muslim (hadis)
1 subjek menggunakan kitab al-Luma’ karya Ibn Jinni (nahu)
1 subjek menggunakan kitab Islah al-Manthiq (bahasa)
1 subjek dalam ilmu saraf1 subjek dalam ilmu usul al-fiqh
1 subjek dalam ilmu rijal – biografi periwayat hadis1 subjek dalam ilmu usuluddin – akidah
(berkata Syeikh Abdul Fattah Abu Ghuddah: Apa yang tersalin dalam kitab hanya 11 subjek sahaja)
Antara reaksi kehidupan seharian Imam al-Nawawi ini ialah beliau enggan makan buah-buahan dan timun (sayur-sayuran), alasannya ialah: “Aku bimbang ia akan menggemukkan badanku dan membuatkan aku tidur lama!” Sedangkan beliau hanya makan sekali pada setiap hari dan hanya sekali meminum air iaitu ketika waktu sahur.
Beliau menghadapi pemerintah dengan penuh keberanian, segala yang menyalahi sayarak akan ditegur, dikirim kepada mereka surat serta mengingatkan pemerintah dengan ‘kekuasaan’ Allah Taala. Beliau pernah menulis dalam suratnya:
“Daripada hamba Allah, Yahya al-Nawawi: Semoga Allah memberikan keselamatan, rahmat dan keberkatanNya kepada kamu, Sultan yang dihormati, penghulu raja-raja Badr al-Din. Semoga Allah melestarikan kepadanya kebaikan dan kebajikan. Diperpanjangkan kebaikan di dunia ini hingga ke akhirat bagi setiap impiannya serta diberkati pada setiap keadaannya, amin! Aku ingin menyampaikan pada pengetahuan yang mulia bahawa penduduk Syam sedang menghadapi kesempitan dengan sebab ketiadaan hujan …  dalam satu surat yang agak panjang.”
Lalu dibalas surat tersebut dengan nada yang keras oleh al-Zahir. Bukan sekali beliau menulis surat kepada Malik al-Zahir dalam mengajak kepada perbuatan yang baik dan meninggalkan perkara yang buruk. Tetapi nada suratnya penuh dengan kelembutan dan kebaikan. Bukan suara yang keras dan menempelak para pemerintah dengan cacian dan kutukan sebagaimana kini. Hinggakan pernah ditanya kepada Malik al-Zahir berkaitan dengan Imam al-Nawawi beliau menyatakan: “Aku begitu gerun kepadanya”.
Antara karyanya yang terkenal ialah:
Minhaj Fi Syarh Sahih Muslim
Riyadh al-Solihin Min Kalam Saiyid al-Mursalin
Al-AzkarAl-Arba’in (Hadis 40)
Al-Irsyad
Tahzib al-Asma’ Wa al-Lughah
Minhaj al-Thalibin
Al-Daqaiq
Tashihul Tanbih Fi Fiqh al-Syafi’iyah
Taqrib Wa Tahsin Fi Musthalah al-Hadits
Al-‘Umdah
Al-Idhah
Al-Tibyan fi Adab Hamlah al-Quran
Dan banyak lagi…
Beliau terus belajar ilmu hingga menjadi seorang ulama besar dalam fiqh mazhab Syafii, turut mahir di dalam bidang hadis dan bahasa. Berkaitan dengan ini Syaikh ibn Farh menyatakan bahawa Imam al-Nawawi memiliki tiga darjat yang setiap satu darjatnya sangat sukar dicapai oleh orang lain, iaitu ilmu, zuhud dan berpesan ke arah kebaikan dan menolak kemungkaran.
Beliau pulang semula ke Nawa selepas menziarahi Bait al-Maqdis. Di sana tidak berapa lama beliau jatuh sakit dan meninggal dunia pada bulan Rejab tahun 676H. Umur Imam al-Nawawi ketika itu baru mencecah 45 tahun, meskipun usianya yang tidak begitu panjang, kehidupannya dalam tempoh itu penuh dengan keberkatan. Umur yang singkat itu, beliau menghabiskan untuk melakukan ibadah, ketaatan, mengajar dan menulis.
Semoga Allah merahmati beliau dan kita semua. Allahumma amin!
.
Sumber: http://mohdfikri.com/blog/biografi-tokoh/tokoh-islam/imam-al-nawawi-631-676h.html

Manaqib Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324)



 Nama beliau adalah: ‘Ali.

Silsilah beliau adalah: ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin ‘Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Bardah bin Abi Musa Al-Asy’ariy.
(Sumber: kitab “Tarikh Baghdad” karangan Al-Khathib Al-Baghdadi, Kitab “Thabaqat Asy-Syafi’iyyah” karangan Ibnu Qadhi Syuhbah).

Dilahirkan di kota Bashrah pada tahun 260 hijriah.
 
Wafat di Baghdad pada tahun 324 hijriah.
(Sumber: kitab “Tarikh Baghdad” karangan Al-Khathib Al-Baghdadi).

Imam Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab fiqih kepada Madzhab Imam Syafi’i. Demikian tertulis dalam kitab Al-Habaik Fi Akhbar Al-Malaik karangan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Dan Ustadz Abu Ishaq dan Abubakar al-Furak dalam kitab “Thabaqat Mutakallimin”.
Mungkin juga Imam Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab fiqih kepada Madzhab Imam Maliki sebagaimana disebutkan dalam kitab “Hasyiyah ad-Dusuqiy ‘Ala Ummil Baraahiin Lil Imam Muhammad As-Sanusiy” karangan Imam Muhammad ad-Dusuqiy.


Beliau adalah guru dan Imam Besar dalam ilmu kalam, pembela sunnah Sayyidil Mursalin, membetulkan ‘aqidah kaum muslimin yang sudah rusak, berguru ilmu kalam kepada Abi ‘Ali Al-Jabaaiy yang merupakan guru besar Mu’tazilah. Kemudian Abu Hasan Al-Asy’ari meninggalkan Jabaaiy dan menjauhkan diri dari Faham Mu’tazilah lalu membongkar kesesatan Mu’tazilah. Beliau menolak faham Mu’tazilah dan menyusun kitab tentang kesalahan faham Mu’tazilah. Kemudian, Abu Hasan Al-Asy’ari memasuki Baghdad dan belajar ilmu hadits dan fiqih pada Syaikh Zakaria As-Saajiy dan lainnya, hingga Beliau wafat di Baghdad.
Berkata al-Khathib al-Baghdadiy : Abu Hasan Al-Asy’ari Al-Mutakallimin mempunyai kitab dan karangan yang tidak kurang dari 55 kitab untuk menolak faham mulhidah dan lainnya, yakni faham Mu’tazilah, Rafidhah, Jahmiyyah, Khawarij, dan seluruh faham bid’ah yang lain.
(Sumber: Kitab “Thabaqat Asy-Syafi’iyyah” karangan Ibnu Qadhi Syuhbah, Kitab “Abu Hasan Al-Asy’ari Al-Asy’ari” karangan Himad bin Muhammad al-Anshar)

BERPINDAH DARI FAHAM MU’TAZILAH KEPADA FAHAM AHLUSSUNNAH
Manakala Beliau sudah banyak memiliki ilmu teologi Mu’tazilah laksana lautan dan telah sampai pada taraf yang diharapkan, Beliau mengajukan beberapa pertanyaan kepada gurunya, tetapi beliau tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, sehingga beliau menjadi bingung sendiri.
Beliau bercerita : Setelah peristiwa itu maka pada suatu malam tiba-tiba jatuh dalam dadaku sesuatu tentang masalah ‘aqidah, maka aku bangkit dan shalat dua rakaat, serta aku memohon kepada Allah bahwa diberikan untukku petunjuk kepada jalan yang lurus, lalu aku pun tertidur, dan dalam tidurku aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka aku membuat pengaduan kepada Baginda dari apa yang sedang menimpa diriku, maka Rasulullah bersabda kepadaku : “Diatasmu adalah sunnahku” maka aku pun terjaga. Aku hadapkan masalah kalam dengan apa yang aku dapatkan dalam Al-Qur’an dan hadits, maka aku menetapkannya (yang aku dapatkan dalam Al-Qur’an dan Hadits) dan aku membuang yang lainnya kebelakang punggungku.

MUNADLARAH ABU HASAN AL-ASY’ARI DENGAN JABAAIY:
Asy-’ari    :    Ada 3 orang bersaudara, salah seorang dari mereka itu adalah mukmin berbakti dan bahagia. Yang kedua kafir, fasiq dan durhaka. Yang ketiga masih kecil, lalu semua mereka meninggal dunia dalam keadaan mereka masing-masing, maka bagaimana keadaan mereka bertiga?
Jabaaiy    :    Orang yang pertama adalah orang zuhud maka dalam surga, yang kedua adalah kafir maka dalam neraka, yang ketiga adalah anak kecil maka orang yang selamat.
Asy-’ari    :    Jika anak kecil itu mau masuk kesurga bersama saudaranya yang zuhud itu apakah diizinkan?
Jabaai    :    Tidak, karena nanti dikatakan kepada anak kecil itu bahwa saudaramu sampai kesurga ini karena banyak bersedekah dan berbuat tha’at, dan engkau anak kecil tidak melakukan yang tha’at.
Jabaaiy    :    Tuhan yang maha tinggi tentu berkata: Aku lebih mengetahui bahwa jika engkau dikekalkan maka engkau akan melakukan maksiat sehingga jadilah engkau orang yang berhak masuk dalam azab yang pedih, maka Aku menjaga yang menjadi kemashlahatan bagi engkau.
Asy-’ari    :    Maka jika saudaranya yang dewasa yang mendapat azab yang pedih itu berkata: wahai Tuhan semesta alam, sebagaimana Engkau mengetahui keadaan adikku maka tentu Engkau mengetahui pula keadaanku, tetapi mengapa Engkau hanya memelihara kemashlahatannya dan tidak menjaga kemashlahatan bagiku? Artinya kenapa Engkau biarkan aku hidup lalu menjadi kafir, kenapa tidak Engkau matikan aku pada waktu kecil seperti adikku itu agar tidak mendapat azab neraka?.
Sampai disini Jabaaiy tidak bisa lagi menjawab untuk mempertahankan keyakinannya yang sesat.
Berkata Ibnu ‘Imad: dengan munadlarah tersebut dapat diketahuikan bahwa sungguh Allah Ta’ala memilih siapa yang dikehendakinya untuk diberikan rahmat-Nya, dan juga menentukan siapa yang akan diazab.
Taajuddin As-Subki dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra berkata: “Abu Hasan Al-Asy’ari Al-Asy’ari pembesar Ahlussunnah setelah Imam Ahmad bin Hanbal. ‘Aqidah Abu Hasan Al-Asy’ari dengan ‘Aqidah Imam Ahmad adalah satu yaitu madzhab Salaf.
(Sumber : Kitab “Abu Hasan Al-Asy’ari Al-Asy’ari” karangan Himad bin Muhammad al-Anshar).
MATINYA JABAAIY
Jabaaiy yang bernama asli Muhammad bin Abdul Wahhab bin Salim Abu ‘Ali yang merupakan guru besar Mu’tazilah, murid dari Abu Ya’qub Asy-Syiham Al-Bashriy dan mantan guru Abu Hasan Al-Asy’ari mati pada tahun 303 pada usia 68 tahun. Pahamnya diteruskan oleh anaknya yang bernama Abdussalam Abu Hasyim al-Jabaaiy dan mati di Baghdad pada tahun 321.
(Sumber : Kitab “Thabaqat Mufassirin” karangan Imam Jalaluddin As-Suyuthi).
KELEBIHAN ABU HASAN AL-ASY’ARI
(Sumber: kitab “Thabaqat al-Kubra” karangan Imam Abdul Wahhab Asy-Sya’rani Asy-Syafi’i).
Diceritakan bahwa kaum Mu’tazilah sungguh berjalan dimuka bumi dengan kepala tegak yang menunjukkan kepada kejayaan mereka, sehingga Allah melahirkan Abu Hasan Al-Asy’ari maka kaum Mu’tazilah masuk bersembunyi dalam mulut semut merah.
(Sumber: kitab “Tarikh Baghdad” karangan Al-Khathib Al-Baghdadi).
Diriwayatkan bahwa Allah telah memperlihatkan keutamaan Abu Hasan bahwa beliau menjadi rebutan kaum yang bermadzhab. Orang-orang Malikiyyah berkata bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab Malik. Orang-orang Syafi’iyyah berkata bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab Syafi’i, dan orang-orang Hanafiyyah berkata bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab Hanafi.
(Sumber: Kitab “Abu Hasan Al-Asy’ari Al-Asy’ari” karangan Himad bin Muhammad al-Anshar).
Maka jangan heran jika Muhammad Dusuqiy berkata bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab Malik, sedangkan Abu Ishaq dan Abubakar berkata bahwa Abu Hasan bermadzhab Syafi’i sebagaimana yang sudah disebutkan diatas. Ibnu ‘Asakir meriwayatkan bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari adalah Malikiyyah.
Diriwayatkan pula bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari hidup dalam faham Mu’tazilah selama 40 tahun. Beliau adalah Imam mereka, kemudian beliau mengasingkan diri dari manusia selama 15 hari dalam rumahnya. Sesudah itu maka beliau keluar kepada mesjid Jamik di kota Bashrah, beliau naik mimbar sesudah shalat Jum’at, dan berkata:
“Wahai saudara-saudaraku umat Islam sekalian, aku menghilang dari kalian untuk beberapa hari yang sudah lalu karena aku ingin menggunakan pikiranku dalam beberapa masalah ‘aqidah, maka sekarang aku sudah mendapat dalil-dalil ‘aqidah yang cocok dan sesuai. Tidak mengungguli disisiku oleh kebenaran diatas kebathilan dan tidak kebathilan diatas kebenaran, lalu aku memohon petunjuk kepada Allah maka Allah telah memberikan aku hidayah-Nya kepada apa yang sudah aku tulis dalam kitab ini. Aku lepaskan diriku dari segala apa yang menjadi ‘aqidahku selama ini sebagaimana aku lepaskan diriku daripada bajuku ini”.
Abu Hasan Al-Asy’ari melepaskan baju jubah yang dipakainya dan melemparkannya. Setelah itu lalu beliau memberikan kitab yang baru ditulisnya kepada manusia. Tatkala membaca kitab-kitab tersebut oleh ahli hadits dan ahli fiqih ahlussunnah wal jama’ah maka mereka mengambil apa yang ada didalam kitab tersebut dan membedahnya, dan akhirnya mereka berkeyakinan bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari adalah pendahulu mereka. Mereka menjadikan Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai Imam sehingga disandarkan madzhab mereka kepada beliau.
Abu Hasan Al-Asy’ari dalam hubungannya dengan Mu’tazilah yang sudah ditinggalkannya “seperti seorang Kitabiy (Kafir Ahli Kitab) yang masuk Islam dan membongkar kelemahan ‘aqidah yang sudah ditinggalkannya, maka kitabiy tersebut sangat berbahaya dalam anggapan kafir dzimmi” maka demikian juga Abu Hasan Al-Asy’ari itu sangat berbahaya dalam anggapan Mu’tazilah, sehingga Mu’tazilah mencaci-caci Abu Hasan Al-Asy’ari dan menuduhnya sebagai pembawa kebathilan, tetapi Abu Hasan Al-Asy’ari menerimanya.
Ulama ahli hadits sudah sepakat bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari adalah seorang Imam dari sejumlah imam ahli hadits. Madzhab beliau adalah madzhab ahli hadits. Berbicara dalam ilmu ushuluddin dengan jalan ahlussunnah dan Beliau menolak faham yang sesat dan bid’ah.
Abubakar bin Fauruk berkata : kembalinya Abu Hasan Al-Asy’ari dari madzhab Mu’tazilah kepada madzhab Ahlussunnah wal jama’ah pada tahun 300 hijriah.
(Sumber: Kitab “Abu Hasan Al-Asy’ari Al-Asy’ari” karangan Himad bin Muhammad al-Anshar).

Manaqib Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (1265 – 1351 H)

Setiap tahunnya, di Kota Bogor tepatnya di kawasan empang Bogor selalu dibanjiri ribuan penziarah yang datang dari berbagai pelosok tanah air, bahkan mancanegara. Empang menjadi terkenal karena di lokasi itu terdapat maqam Waliyullah Al-Alamah Al-Arif Billah AlHabib Abdullah bin Mukhsin Al-Athas. Tepatnya berada di komplek Masjid Keramat An Nur yang lokasinya tepat di Jalan Lolongok.

Beliau
adalah seorang wali Allah, kekasih-Nya, yang telah berhasil mencapai
kedudukan yang mulia, yang dekat dengan Allah SWT. Beliau adalah pemuka
para wali yang tak terhitung jasa-jasanya bagi Islam dan kaum muslimin.
panutan para ahli tasawuf dan suri tauladan yang baik bagi semua insan.

Al Habib Abdullah bin Muhsin. bin
Muhammad. bin Abdullah. bin Muhammad bin Mukhsin bin Al-Quthb Husen bin
Syekh Al Quthb Anfas Al Habib Umar bin Abdurrohman Al attas bin ‘Aqil
bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman
as-Seqqaf bin Muhammad maulad dawilah bin Ali maulad dark bin Alwy
al-Ghayyur bin Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad
shahib marbath bin Alwy khali’ qatsam bin Alwy bin Muhammad bin Alwy
Ba’Alawy bin Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin
Muhammad an-naqib bin Ali al-uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein as-sibth bin Ali bin Abi
Thalib ibin Sayidatina Fatimah az-Zahra binti Rasulullah SAW, adalah
seorang tokoh ruhani yang dikenal luas oleh semua kalangan umum maupun
khusus. Beliau adalah “Ahli kasaf” dan ahli Ilmu Agama yang sulit
ditandingi keluasan Ilmunya, jumlah amal ibadahnya, kemuliaan maupun
budi pekertinya, pada zamannya.
Al-Habib Abdullah bin Muhsin
Al-Attas dilahirkan didesa Haurah, salah satu desa di Al-Kasri,
Hadhramaut, Yaman, pada hari selasa 20 Jumadil Awal 1265 H. Sejak kecil
beliau mendapatkan pendidikan rohani dari ayahnya Al-Habib Muchsin
Al-Attas.rhm, Beliau mempelajari Al-Quran dari mu’alim Syekh Umar bin
Faraj bin Sabah.rhm. setelah menghatamkan Al-quran beliau diserahkan
kepada ulama-ulama besar dimasanya untuk menimba ilmu Islam, dan
Al-Habib Abdullah bin Muchsin Al-Attas pernah belajar kitab risalah
Jami’ah karangan Al-Habib Ahmad bin Zen Al-Habsyi.ra, Kepada Al-Habib
Abdullah Bin Alwi Al-‘Aydrus.rhm
Diantara guru–guru beliau,
salah satunya adalah As-sayid Al Habib Al Quthb Ghauts Abu Bakar bin
Abdullah Al Attas.rhm, dari guru yang satu itu beliau sempat menimba
Ilmu–Ilmu rohani dan tasawuf, Beliau mendapatkan do’a khusus dari Al
Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas, sehingga beliau berhasil
meraih derajat kewalian yang patut. Diantaranya guru rohani beliau yang
patut dibanggakan adalah yang mulya Quthb Al Habib Sholeh bin Abdullah
Al-Attas penduduk Wadi a’mad, Hadhramaut
Habib Abdullah bin Mukhsin al-Attas pernah membaca Al-Fatihah
dihadapan Habib Sholeh dan al-Habib Sholeh menalqinkan Al-Fatihah
kepadanya. Al A’rif Billahi Al Habib Ahmad bin Muhammad Al Habsyi,
ketika melihat Al Habib Abdullah bin Mukhsin al-attas yang waktu itu
masih kecil, beliau berkata sungguh anak kecil ini kelak akan menjadi
orang mulya kedudukannya.
Pada tahun 1282 Hijriah, Habib
Abdulllah Bin Muhsin menunaikan Ibadah haji yang pertama kalinya,
selama ditanah suci beliau bertemu dan berdialog dengan ulama-ulama
Islam terkemuka. hingga tahun 1283 H Beliau melakukan Ibadah hajinnya
untuk kedua kalinya dan sepulang dari ibadah haji, beliau berkeliling
kepenjuru dunia yang hingga akhirnya perjalanan itu mengantar beliau
sampai kepulau Jawa tepatnya didaerah Pekalongan. di pulau Jawa beliau
bertemu dengan sejumlah para wali yang diantaranya dari keluarga
Al-Alawy, Al-Habib Ahmad bin Muhammad bin Hamzah Al-Attas.
Dalam perjalanan hidupnya, beliau Al Habib Abdullah bin Muhsin Alatas
pernah dimasukkan kedalam penjara oleh pemerintah Belanda pada masa itu
dengan alasan yang tidak jelas (difitnah). Selama dipenjara,
kekeramatan beliau makin nampak yang mengundang banyak pengunjung untuk
bersilahturahmi dengan beliau. Sampai mengherankan pimpinan penjara dan
para penjaganya, bahkan sampai mereka pun ikut mendapatkan keberkahan
dan manfaat dari kebesaran beliau.
Dalam kejadian di penjara,
pada suatu malam pintu penjara tiba-tiba telah terbuka dan telah datang
kepada beliau kakek beliau Al Habib Umar bin Abdurrahman Alatas
(Shohibul Ratib), seraya berkata,”jika engkau ingin keluar penjara
keluarlah sekarang, tapi jika engkau bersabar, maka bersabarlah.”. Dan
ternyata beliau memilih bersabar dalam penjara. Pada malam itu juga,
beliau telah datangi Sayyidina Al Faqih Muqaddam dan Syekh Abdul Qadir
Jaelani. Pada kesempatan itu Sayyidina Al Faqih Muqaddam memberikan
sebuah kopiah Al Fiyah kepada beliau, dan Syekh Abdul Qadir Jaelani
memberikan surbannya kepada beliau.
Diantara karomah beliau
yang diperoleh, seperti yang diungkapkan : Al Habib Muhammad bin Idrus
Al Habsyi.rhm (Surabaya). Bahwa Al Habib Abdullah bin Muchsin
Al-Attas ketika mendapatkan anugerah dari Allah, beliau tenggelam
penuh dengan kebesaran Allah SWT, hilang akan hubungannya dengan alam
dunia dan seisinya. “ketika aku mengunjungi Al Habib Abdullah bin
Muchsin Al-Attas dalam penjara, aku lihat penampilannya amat
berwibawa, dan beliau terlihat diliputi akan pancaran cahaya ilahi.
Sewaktu beliau melihat aku, beliau mengucapkan bait-bait syair Al Habib
Abdullah Al Haddad, dengan awal baitnya :
“Wahai yang
mengunjungi aku dimalam dingin, ketika tak ada lagi orang yang akan
menebarkan berita fitnah… Selanjutnya kami saling berpelukan dan
menangis.”
Karomah, kemuliaan yang Allah SWT limpahkan kepada
kekasih-Nya, Al Habib Abdullah bin Muchsin Alatas yang lain diantaranya
adalah sewaktu dipenjara, setiap kali beliau memandang borgol yang
dibelenggu dikakinya, maka terlepaslah borgol tersebut.
Disebutkan juga bahwa ketika pimpinan penjara menyuruh sipir untuk
mengikat leher beliau dengan rantai besi, maka dengan izin Allah rantai
itu terlepas dengan sendirinya, dan pemimpin penjara beserta
keluarganya menderita sakit panas, sampai dokter tak mampu lagi untuk
mengobati. Hingga akhirnya pimpinan penjara itu sadar bahwa sakit panas
tersebut disebabkan karena telah menyakiti Al Habib Abdullah bin
Muchsin Al-Attas yang sedang dipenjara. Lalu pimpinan penjara itu
mengutus utusan untuk memohon doa agar penyakit panas yang menimpa
keluarganya dapat sembuh, dan berkatalah Al Habib Abdullah bin Muchsin
Al-Attas “ambillah borgor dan rantai ini, ikatkan di kaki dan leher
maka akan sembuhlah dia” maka setelah itu dengan izin Allah penyakit
pimpinan penjara dan keluarganya pun dapat sembuh.
Setelah
beliau keluar dari penjara, beliau mencari tempat yang sunyi, yang jauh
dari banyak orang, dan ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Lalu
dipilihlah daerah Bogor (Empang), yang akhirnya Al Habib Abdullah bin
Muhsin Alatas tinggal ditempat ini, beliau membeli tanah, membuat
rumah sederhana dan beliau menyendiri sampai diangkat derajatnya oleh
Allah SWT.
Semasa hidupnya sampai menjelang akhir hayatnya
beliau selalu membaca Sholawat Nabi yang setiap harinya dilakukan
secara dawam di baca sebanyak seribu kali, dengan kitab Sholawat yang
dikenal yaitu “ Dalail Khoirot” artinya kebaikan yang diperintahkan
oleh Allah SWT.
Sampai pada hari selasa tanggal 29 bulan
Dzulhijah 1351 H, diawal waktu dhuhur beliau dipanggil kehadirat Allah
SWT. Jenazah beliau dimakamkan keesokan harinya setelah sholat dhuhur.
Tak terhitung jumlah manusia yang ingin ikut mensholatkan jenazah
beliau, yang dimakamkan dibagian barat mesjid beliau di Empang-Bogor. Sebelum wafat
beliau yang dikarenakan flu ringan, kebanyakan waktunya ditenggelamkan
dalam dzikirnya dan doanya kepada Allah SWT. Sampai beliau pulang
kepangkuan Allah SWT.
Semoga kita semua mendapatkan keberkahan dari Al-Arifbillah Al-Quthb Al Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas … amin…

Manaqib Al-Habib Muhammad bin Husein Alaydrus (Habib Neon)

Ulama yang Berjuluk Habib Neon
Dia salah seorang ulama yang menjadi penerang umat di zamannya. Cahaya keilmuan dan ahlaqnya menjadi teladan bagi mereka yang mengikuti jejak ulama salaf
Suatu malam, beberapa tahun lalu, ketika ribuan jamaah tengah mengikuti taklim di sebuah masjid di Surabaya, tiba-tiba listrik padam. Tentu saja kontan mereka risau, heboh. Mereka satu persatu keluar, apalagi malam itu bulan tengah purnama. Ketika itulah dari kejauhan tampak seseorang berjalan menuju masjid. Ia mengenakan gamis dan sorban putih, berselempang kain rida warna hijau. Dia adalah Habib Muhammad bin Husein bin Zainal Abidin bin Ahmad Alaydrus yang ketika lahir ia diberi nama Muhammad Masyhur.
Begitu masuk ke dalam masjid, aneh bin ajaib, mendadak masjid terang benderang seolah ada lampu neon yang menyala. Padahal, Habib Muhammad tidak membawa obor atau lampu. Para jamaah terheran-heran. Apa yang terjadi? Setelah diperhatikan, ternyata cahaya terang benderang itu keluar dari tubuh sang habib. Bukan main! Maka, sejak itu sang habib mendapat julukan Habib Neon …
Habib Muhammad lahir di Tarim, Hadramaut, pada 1888 M. Meski dia adalah seorang waliyullah, karamahnya tidak begitu nampak di kalangan orang awam. Hanya para ulama atau wali yang arif sajalah yang dapat mengetahui karamah Habib Neon. Sejak kecil ia mendapat pendidikan agama dari ayahandanya, Habib Husein bin Zainal Abidin Alaydrus. Menjelang dewasa ia merantau ke Singapura selama beberapa bulan kemudian hijrah ke ke Palembang, Sumatra Selatan, berguru kepada pamannya, Habib Musthafa Alaydrus, kemudian menikah dengan sepupunya, Aisyah binti Musthafa Alaydrus. Dari pernikahan itu ia dikaruniai Allah tiga anak lelaki dan seorang anak perempuan.
Tak lama kemudian ia hijrah bersama keluarganya ke Pekalongan, Jawa Tengah, mendampingi dakwah Habib Ahmad bin Tholib Al-Atthas. Beberapa waktu kemudian ia hijrah lagi, kali ini ke Surabaya. Ketika itu Surabaya terkenal sebagai tempat berkumpulnya para ulama dan awliya, seperti Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya.
Selama mukim di Surabaya, Habib Muhammad suka berziarah, antara lain ke makam para wali dan ulama di Kudus, Jawa Tengah, dan Tuban, Jawa Timur. Dalam ziarah itulah, ia konon pernah bertemu secara ruhaniah dengan seorang wali kharismatik, (Alm) Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, Gresik.
Open House
Seperti halnya para wali yang lain, Habib Muhammad juga kuat dalam beribadah. Setiap waktu ia selalu gunakan untuk berdzikir dan bershalawat. Dan yang paling mengagumkan, ia tak pernah menolak untuk menghadiri undangan dari kaum fakir miskin. Segala hal yang ia bicarakan dan pikirkan selalu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran agama, dan tak pernah berbicara mengenai masalah yang tak berguna.
Ia juga sangat memperhatikan persoalan yang dihadapi oleh orang lain. Itu sebabnya, setiap jam 10 pagi hingga waktu Dhuhur, ia selalu menggelar open house untuk menmui dan menjamu para tamu dari segala penjuru, bahkan dari mancanegara. Beberapa tamunya mengaku, berbincang-bincang dengan dia sangat menyenangkan dan nyaman karena wajahnya senantiasa ceria dan jernih.
Sedangkan waktu antara Maghrib sampai Isya ia perguankan untuk menelaah kitab-kitab mengenai amal ibadah dan akhlaq kaum salaf. Dan setiap Jumat ia mengelar pembacaan Burdah bersama jamaahnya.
Ia memang sering diminta nasihat oleh warga di sekitar rumahnya, terutama dalam masalah kehidupan sehari-hari, masalah rumahtangga, dan problem-problem masyarakat lainnya. Itu semua dia terima dengan senang hati dan tangan terbuka. Dan konon, ia sudah tahu apa yang akan dikemukakan, sehingga si tamu manggut-manggut, antara heran dan puas. Apalagi jika kemudian mendapat jalan keluarnya. “Itu pula yang saya ketahui secara langsung. Beliau adalah guru saya,” tutur Habib Mustafa bin Abdullah Alaydrus, kemenakan dan menantunya, yang juga pimpinan Majelis Taklim Syamsi Syumus, Tebet Timur Dalam Raya, Jakarta Selatan.
Di antara laku mujahadah (tirakat) yang dilakukannya ialah berpuasa selama tujuh tahun, dan hanya berbuka dan bersantap sahur dengan tujuh butir korma. Bahkan pernah selama setahun ia berpuasa, dan hanya berbuka dan sahur dengan gandum yang sangat sedikit. Untuk jatah buka puasa dan sahur selama setahun itu ia hanya menyediakan gandum sebanyak lima mud saja. Dan itulah pula yang dilakukan oleh Imam Gahazali. Satu mud ialah 675 gram. ”Aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Ketika itu aku juga menguji nafsuku dengan meniru ibadah kaum salaf yang diceritakan dalam kitab-kitab salaf tersebut,” katanya.
Habib Neon wafat pada 30 Jumadil Awwal 1389 H / 22 Juni 1969 M dalam usia 71 tahun, dan jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pegirikan, Surabaya, di samping makam paman dan mertuanya, Habib Mustafa Alaydrus, sesuai dengan wasiatnya. Setelah ia wafat, aktivitas dakwahnya dilanjutkan oleh putranya yang ketiga, Habib Syaikh bin Muhammad Alaydrus dengan membuka Majelis Burdah di Ketapang Kecil, Surabaya. Haul Habib Neon diselenggarakan setiap hari Kamis pada akhir bulan Jumadil Awal.
——————————————————————————————-
Pewaris Rahasia Imam Ali Zainal Abidin
Al-Habib Muhammad bin Husein al-Aydrus lahir di kota Tarim Hadramaut. Kewalian dan sir beliau tidak begitu tampak di kalangan orang awam. Namun di kalangan kaum ‘arifin billah derajat dan karomah beliau sudah bukan hal yang asing lagi, karena memang beliau sendiri lebih sering bermuamalah dan berinteraksi dengan mereka.
Sejak kecil habib Muhammad dididik dan diasuh secara langsung oleh ayah beliau sendiri al-’Arifbillah Habib Husein bin Zainal Abidin al-Aydrus. Setelah usianya dianggap cukup matang oleh ayahnya, beliau al-Habib Muhammad dengan keyakinan yang kuat kepada Allah SWT merantau ke Singapura.
أَََلَمْ َتكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فتَََهَاجَرُوْا فِيْهَا
Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (Q.S an-Nisa’:97)
Setelah merantau ke Singapura, beliau pindah ke Palembang, Sumatera Selatan. Di kota ini beliau menikah dan dikaruniai seorang putri. Dari Palembang, beliau melanjutkan perantauannya ke Pekalongan, Jawa Tengah, sebuah kota yang menjadi saksi bisu pertemuan beliau untuk pertama kalinya dengan al-Imam Quthb al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Seggaf, Gresik. Di Pekalongan jugalah beliau seringkali mendampingi Habib Ahmad bin Tholib al-Atthos.
Dari Pekalongan beliau pidah ke Surabaya tempat Habib Musthafa al-Aydrus yang tidak lain adalah pamannya tinggal. Seorang penyair, al-Hariri pernah mengatakan:
وَحُبِّ البِلَادَ فَأَيُّهَا أَرْضَاكَ فَاخْتَرْهُ وَطَنْ
Cintailah negeri-negeri mana saja yang menyenangkan bagimu dan jadikanlah (negeri itu) tempat tinggalmu
Akhirnya beliau memutuskan untuk tinggal bersama pamannya di Surabaya, yang waktu itu terkenal di kalangan masyarakat Hadramaut sebagai tempat berkumpulnya para auliaillah. Di antaranya adalah Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdor, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya dan masih banyak lagi para habaib yang mengharumkan nama kota Surabaya waktu itu. Selama menetap di Surabaya pun Habib Muhammad al-Aydrus masih suka berziarah, terutama ke kota Tuban dan Kudus selama 1-2 bulan.
Dikatakan bahwa para sayyid dari keluarga Zainal Abidin (keluarga ayah Habib Muhammad) adalah para sayyid dari Bani ‘Alawy yang terpilih dan terbaik karena mereka mewarisi asrar (rahasia-rahasia). Mulai dari ayah, kakek sampai kakek-kakek buyut beliau tampak jelas bahwa mereka mempunyai maqam di sisi Allah SWT. Mereka adalah pakar-pakar ilmu tashawuf dan adab yang telah menyelami ilmu ma’rifatullah, sehingga patut bagi kita untuk menjadikan beliau-beliau sebagai figur teladan.
Diriwayatkan dari sebuah kitab manaqib keluarga al-Habib Zainal Abidin mempunyai beberapa karangan yang kandungan isinya mampu memenuhi 10 gudang kitab-kitab ilmu ma’qul/manqul sekaligus ilmu-ilmu furu’ (cabang) maupun ushul (inti) yang ditulis berdasarkan dalil-dalil jelas yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh para pakar dan ahli (para ashlafuna ash-sholihin).
Habib Muhammad al-Aydrus adalah tipe orang yang pendiam, sedikit makan dan tidur. Setiap orang yang berziarah kepada beliau pasti merasa nyaman dan senang karena memandang wajah beliau yang ceria dengan pancaran nur (cahaya). Setiap waktu beliau gunakan untuk selalu berdzikir dan bersholawat kepada datuk beliau Rasulullah SAW. Beliau juga gemar memenuhi undangan kaum fakir miskin. Setiap pembicaraan yang keluar dari mulut beliau selalu bernilai kebenaran-kebenaran sekalipun pahit akibatnya. Tak seorangpun dari kaum muslimin yang beliau khianati, apalagi dianiaya.
Setiap hari jam 10 pagi hingga dzuhur beliau selalu menyempatkan untuk openhouse menjamu para tamu yang datang dari segala penjuru kota, bahkan ada sebagian dari mancanegara. Sedangkan waktu antara maghrib sampai isya’ beliau pergunakan untuk menelaah kitab-kitab yang menceritakan perjalanan kaum salaf. Setiap malam Jum’at beliau mengadakan pembacaan Burdah bersama para jamaahnya.
Beliau al-Habib Muhammad al-Aydrus adalah pewaris karateristik Imam Ali Zainal Abidin yang haliyah-nya agung dan sangat mulia. Beliau juga memiliki maqam tinggi yang jarang diwariskan kepada generasi-generasi penerusnya. Dalam hal ini al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad telah menyifati mereka dalam untaian syairnya:
ثبتوا على قـدم النبى والصحب # والتـابعين لهم فسل وتتبع
ومضو على قصد السبيل الى العلى# قدما على قدم بجد أوزع
_Mereka tetap dalam jejak Nabi dan sahabat-sahabatnya
Juga para tabi’in. Maka tanyakan kepadanya dan ikutilah jejaknya_
_Mereka menelusuri jalan menuju kemulyaan dan ketinggian
Setapak demi setapak (mereka telusuri) dengan kegigihan dan kesungguhan_
Diantara mujahadah beliau r.a, selama 7 tahun berpuasa dan tidak berbuka kecuali hanya dengan 7 butir kurma. Pernah juga beliau selama 1 tahun tidak makan kecuali 5 mud saja. Beliau pernah berkata, “Di masa permulaan aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Aku juga senantiasa menguji nafsuku ini dengan meniru perjuangan mereka (kaum salaf) yang tersurat dalam kitab-kitab itu”.

Kumpulan Mahalul Qiyam MP3

Al Quran Online