Nama beliau adalah: ‘Ali.
Silsilah
beliau adalah: ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin
‘Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Bardah bin Abi Musa Al-Asy’ariy.
(Sumber: kitab “Tarikh Baghdad” karangan Al-Khathib Al-Baghdadi, Kitab “Thabaqat Asy-Syafi’iyyah” karangan Ibnu Qadhi Syuhbah).
Wafat di Baghdad pada tahun 324 hijriah.
(Sumber: kitab “Tarikh Baghdad” karangan Al-Khathib Al-Baghdadi).
Imam
Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab fiqih kepada Madzhab Imam Syafi’i.
Demikian tertulis dalam kitab Al-Habaik Fi Akhbar Al-Malaik karangan
Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Dan Ustadz Abu Ishaq dan Abubakar al-Furak
dalam kitab “Thabaqat Mutakallimin”.
Mungkin
juga Imam Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab fiqih kepada Madzhab Imam
Maliki sebagaimana disebutkan dalam kitab “Hasyiyah ad-Dusuqiy ‘Ala
Ummil Baraahiin Lil Imam Muhammad As-Sanusiy” karangan Imam Muhammad
ad-Dusuqiy.
Beliau
adalah guru dan Imam Besar dalam ilmu kalam, pembela sunnah Sayyidil
Mursalin, membetulkan ‘aqidah kaum muslimin yang sudah rusak, berguru
ilmu kalam kepada Abi ‘Ali Al-Jabaaiy yang merupakan guru besar
Mu’tazilah. Kemudian Abu Hasan Al-Asy’ari meninggalkan Jabaaiy dan
menjauhkan diri dari Faham Mu’tazilah lalu membongkar kesesatan
Mu’tazilah. Beliau menolak faham Mu’tazilah dan menyusun kitab tentang
kesalahan faham Mu’tazilah. Kemudian, Abu Hasan Al-Asy’ari memasuki
Baghdad dan belajar ilmu hadits dan fiqih pada Syaikh Zakaria As-Saajiy
dan lainnya, hingga Beliau wafat di Baghdad.
Berkata
al-Khathib al-Baghdadiy : Abu Hasan Al-Asy’ari Al-Mutakallimin
mempunyai kitab dan karangan yang tidak kurang dari 55 kitab untuk
menolak faham mulhidah dan lainnya, yakni faham Mu’tazilah, Rafidhah,
Jahmiyyah, Khawarij, dan seluruh faham bid’ah yang lain.
(Sumber:
Kitab “Thabaqat Asy-Syafi’iyyah” karangan Ibnu Qadhi Syuhbah, Kitab
“Abu Hasan Al-Asy’ari Al-Asy’ari” karangan Himad bin Muhammad al-Anshar)
BERPINDAH DARI FAHAM MU’TAZILAH KEPADA FAHAM AHLUSSUNNAH
Manakala
Beliau sudah banyak memiliki ilmu teologi Mu’tazilah laksana lautan dan
telah sampai pada taraf yang diharapkan, Beliau mengajukan beberapa
pertanyaan kepada gurunya, tetapi beliau tidak mendapatkan jawaban yang
memuaskan, sehingga beliau menjadi bingung sendiri.
Beliau
bercerita : Setelah peristiwa itu maka pada suatu malam tiba-tiba jatuh
dalam dadaku sesuatu tentang masalah ‘aqidah, maka aku bangkit dan
shalat dua rakaat, serta aku memohon kepada Allah bahwa diberikan
untukku petunjuk kepada jalan yang lurus, lalu aku pun tertidur, dan
dalam tidurku aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam maka
aku membuat pengaduan kepada Baginda dari apa yang sedang menimpa
diriku, maka Rasulullah bersabda kepadaku : “Diatasmu adalah sunnahku”
maka aku pun terjaga. Aku hadapkan masalah kalam dengan apa yang aku
dapatkan dalam Al-Qur’an dan hadits, maka aku menetapkannya (yang aku
dapatkan dalam Al-Qur’an dan Hadits) dan aku membuang yang lainnya
kebelakang punggungku.
MUNADLARAH ABU HASAN AL-ASY’ARI DENGAN JABAAIY:
Asy-’ari : Ada
3 orang bersaudara, salah seorang dari mereka itu adalah mukmin
berbakti dan bahagia. Yang kedua kafir, fasiq dan durhaka. Yang ketiga
masih kecil, lalu semua mereka meninggal dunia dalam keadaan mereka
masing-masing, maka bagaimana keadaan mereka bertiga?
Jabaaiy : Orang
yang pertama adalah orang zuhud maka dalam surga, yang kedua adalah
kafir maka dalam neraka, yang ketiga adalah anak kecil maka orang yang
selamat.
Asy-’ari : Jika anak kecil itu mau masuk kesurga bersama saudaranya yang zuhud itu apakah diizinkan?
Jabaai : Tidak,
karena nanti dikatakan kepada anak kecil itu bahwa saudaramu sampai
kesurga ini karena banyak bersedekah dan berbuat tha’at, dan engkau anak
kecil tidak melakukan yang tha’at.
Asy-’ari : Jika
anak kecil itu menjawab bahwa aku tidak berbuat tha’at bukan karena
kesalahan dari diriku, tetapi karena Engkau tidak membiarkan aku hidup
dewasa, dan tidak memberikan aku kesempatan untuk berbuat tha’at.
Jabaaiy : Tuhan
yang maha tinggi tentu berkata: Aku lebih mengetahui bahwa jika engkau
dikekalkan maka engkau akan melakukan maksiat sehingga jadilah engkau
orang yang berhak masuk dalam azab yang pedih, maka Aku menjaga yang
menjadi kemashlahatan bagi engkau.
Asy-’ari : Maka
jika saudaranya yang dewasa yang mendapat azab yang pedih itu berkata:
wahai Tuhan semesta alam, sebagaimana Engkau mengetahui keadaan adikku
maka tentu Engkau mengetahui pula keadaanku, tetapi mengapa Engkau hanya
memelihara kemashlahatannya dan tidak menjaga kemashlahatan bagiku?
Artinya kenapa Engkau biarkan aku hidup lalu menjadi kafir, kenapa tidak
Engkau matikan aku pada waktu kecil seperti adikku itu agar tidak
mendapat azab neraka?.
Sampai disini Jabaaiy tidak bisa lagi menjawab untuk mempertahankan keyakinannya yang sesat.
Berkata
Ibnu ‘Imad: dengan munadlarah tersebut dapat diketahuikan bahwa sungguh
Allah Ta’ala memilih siapa yang dikehendakinya untuk diberikan
rahmat-Nya, dan juga menentukan siapa yang akan diazab.
Taajuddin
As-Subki dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra berkata: “Abu
Hasan Al-Asy’ari Al-Asy’ari pembesar Ahlussunnah setelah Imam Ahmad bin
Hanbal. ‘Aqidah Abu Hasan Al-Asy’ari dengan ‘Aqidah Imam Ahmad adalah
satu yaitu madzhab Salaf.
(Sumber : Kitab “Abu Hasan Al-Asy’ari Al-Asy’ari” karangan Himad bin Muhammad al-Anshar).
MATINYA JABAAIY
Jabaaiy
yang bernama asli Muhammad bin Abdul Wahhab bin Salim Abu ‘Ali yang
merupakan guru besar Mu’tazilah, murid dari Abu Ya’qub Asy-Syiham
Al-Bashriy dan mantan guru Abu Hasan Al-Asy’ari mati pada tahun 303 pada
usia 68 tahun. Pahamnya diteruskan oleh anaknya yang bernama Abdussalam
Abu Hasyim al-Jabaaiy dan mati di Baghdad pada tahun 321.
(Sumber : Kitab “Thabaqat Mufassirin” karangan Imam Jalaluddin As-Suyuthi).
KELEBIHAN ABU HASAN AL-ASY’ARI
Abu
Hasan Al-Asy’ari adalah seorang Imam yang zuhud, wara’ dan ‘alim yang
senantiasa berada diatas sunnah Rasulullah, yang terdahulu diatas
orang-orang yang semasa dengan beliau dari ulama mutakallimin. Selama 20
tahun Abu Hasan Al-Asy’ari shalat Shubuh dengan wudhu’ shalat ‘Isya.
Belanja hidup dalam setahun adalah 17 dirham.
(Sumber: kitab “Thabaqat al-Kubra” karangan Imam Abdul Wahhab Asy-Sya’rani Asy-Syafi’i).
Diceritakan
bahwa kaum Mu’tazilah sungguh berjalan dimuka bumi dengan kepala tegak
yang menunjukkan kepada kejayaan mereka, sehingga Allah melahirkan Abu
Hasan Al-Asy’ari maka kaum Mu’tazilah masuk bersembunyi dalam mulut
semut merah.
(Sumber: kitab “Tarikh Baghdad” karangan Al-Khathib Al-Baghdadi).
Diriwayatkan
bahwa Allah telah memperlihatkan keutamaan Abu Hasan bahwa beliau
menjadi rebutan kaum yang bermadzhab. Orang-orang Malikiyyah berkata
bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab Malik. Orang-orang Syafi’iyyah
berkata bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab Syafi’i, dan orang-orang
Hanafiyyah berkata bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab Hanafi.
(Sumber: Kitab “Abu Hasan Al-Asy’ari Al-Asy’ari” karangan Himad bin Muhammad al-Anshar).
Maka
jangan heran jika Muhammad Dusuqiy berkata bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari
bermadzhab Malik, sedangkan Abu Ishaq dan Abubakar berkata bahwa Abu
Hasan bermadzhab Syafi’i sebagaimana yang sudah disebutkan diatas. Ibnu
‘Asakir meriwayatkan bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari adalah Malikiyyah.
Diriwayatkan
pula bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari hidup dalam faham Mu’tazilah selama 40
tahun. Beliau adalah Imam mereka, kemudian beliau mengasingkan diri dari
manusia selama 15 hari dalam rumahnya. Sesudah itu maka beliau keluar
kepada mesjid Jamik di kota Bashrah, beliau naik mimbar sesudah shalat
Jum’at, dan berkata:
“Wahai
saudara-saudaraku umat Islam sekalian, aku menghilang dari kalian untuk
beberapa hari yang sudah lalu karena aku ingin menggunakan pikiranku
dalam beberapa masalah ‘aqidah, maka sekarang aku sudah mendapat
dalil-dalil ‘aqidah yang cocok dan sesuai. Tidak mengungguli disisiku
oleh kebenaran diatas kebathilan dan tidak kebathilan diatas kebenaran,
lalu aku memohon petunjuk kepada Allah maka Allah telah memberikan aku
hidayah-Nya kepada apa yang sudah aku tulis dalam kitab ini. Aku
lepaskan diriku dari segala apa yang menjadi ‘aqidahku selama ini
sebagaimana aku lepaskan diriku daripada bajuku ini”.
Abu
Hasan Al-Asy’ari melepaskan baju jubah yang dipakainya dan
melemparkannya. Setelah itu lalu beliau memberikan kitab yang baru
ditulisnya kepada manusia. Tatkala membaca kitab-kitab tersebut oleh
ahli hadits dan ahli fiqih ahlussunnah wal jama’ah maka mereka mengambil
apa yang ada didalam kitab tersebut dan membedahnya, dan akhirnya
mereka berkeyakinan bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari adalah pendahulu mereka.
Mereka menjadikan Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai Imam sehingga disandarkan
madzhab mereka kepada beliau.
Abu
Hasan Al-Asy’ari dalam hubungannya dengan Mu’tazilah yang sudah
ditinggalkannya “seperti seorang Kitabiy (Kafir Ahli Kitab) yang masuk
Islam dan membongkar kelemahan ‘aqidah yang sudah ditinggalkannya, maka
kitabiy tersebut sangat berbahaya dalam anggapan kafir dzimmi” maka
demikian juga Abu Hasan Al-Asy’ari itu sangat berbahaya dalam anggapan
Mu’tazilah, sehingga Mu’tazilah mencaci-caci Abu Hasan Al-Asy’ari dan
menuduhnya sebagai pembawa kebathilan, tetapi Abu Hasan Al-Asy’ari
menerimanya.
Ulama
ahli hadits sudah sepakat bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari adalah seorang
Imam dari sejumlah imam ahli hadits. Madzhab beliau adalah madzhab ahli
hadits. Berbicara dalam ilmu ushuluddin dengan jalan ahlussunnah dan
Beliau menolak faham yang sesat dan bid’ah.
Abubakar
bin Fauruk berkata : kembalinya Abu Hasan Al-Asy’ari dari madzhab
Mu’tazilah kepada madzhab Ahlussunnah wal jama’ah pada tahun 300
hijriah.
(Sumber: Kitab “Abu Hasan Al-Asy’ari Al-Asy’ari” karangan Himad bin Muhammad al-Anshar).
Izin Copas. kalau di izinkan akan saya pasang di blog pribadi saya : www.rahmatulwalidain.com
BalasHapus