Oleh Abi Alif Mahdy di Kenapa Takut Bid'ah? 2
Hadits dho’if tidaklah sama dengan hadits maudhu’. Hadits dho’if adalah
hadits yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
bukan hadits yang dikarang-karang atau yang dibuat-buat oleh sembarang
manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya (sanadnya) ada yang terputus
sehingga hadits itu menjadi dhoif, tapi tetap saja hadits dhoif bukan
hadits palsu!
Zaman awal Islam mulai berkembang, hadits
tidaklah dituliskan oleh para sahabat Nabi. Hal ini terjadi karena nabi
melarang menuliskan hadits-hadits baginda yang mulia. Rasul bersabda:
“La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits, Uktubul Qur’an!
Tuliskanlah al Qur’an. (HR Muslim).
Dengan demikian, maka
hadits hanya beredar di kalangan sahabat melalui hafalan dari satu orang
ke orang lain. Hal ini berlangsung sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat
itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai khawatir akan perkembangan
hadits. Ada jutaan orang yang sudah memeluk agama islam, dan generasi
pun telah berubah, tidak lagi terdiri dari sahabat-sahabat Nabi yang
terkenal sangat jujur, tapi juga telah muncul orang-orang di luar
komunitas Arab yang sama sekali tidak jumpa Nabi. Dan, di antara mereka
ada yang kurang mujahadah dalam agama. Saat itu, mulailah muncul
tukang-tukang penjual cerita yang di antara mereka bahkan berani
mengarang-ngarang hadits, dan mengatakan bahwa hadits karangannya itu
berasal dari Nabi. Hal ini ini membuat para Ulama mulai khawatir.
Akhirnya dibuatlah sebuah tindakan bid’ah hasanah oleh Khalifah Umar
bin Abdul Aziz dengan memerintahkan ditulisnya hadits-hadits Nabi,
sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang sangat dilarang oleh Baginda
Nabi. (Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman Ta’biin, yakni orang yang
sempat bertemu dengan Sahabat Nabi, telah sepakat bahwa ada bid’ah yang
hasanah alias bid’ah yang baik dan akan diberi pahala oleh Allah orang
yang melakukannya. Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan
pengumpulan hadits. Hal ini sangat bertentangan dengan faham sekelompok
kecil umat Islam yang mengatakan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat dan
semua para pelakunya kelak akan dicampakkan ke dalam neraka).
Alhamdulillah muncullah ilmu baru dalam dunia Islam yakni ilmu
Musthalah Hadits. Di antaranya adalah ilmu sanad hadits, yakni memeriksa
suatu hadits itu dari orang-orang yang menghafal dan menyampaikannya
terus diurut ke atas sampai kepada shahabat dan bersumber kepada Nabi.
Jika para pemangkunya (sanadnya) tidak terputus, terus bersambung kepada
Nabi, dan secara matan juga bagus maka hadits itu dinyatakan sebagai
hadits shohih. Namun, jika ada sanad yang terputus maka hadits tersebut
disebut hadits dhoif.
Saat itu jenis hadits hanya ada tiga
saja, pertama hadits shohih, kedua hadits dhoif, dan ketiga disebut
hadits maudhu’, yang pada hakekatnya hadits palsu.
Kelak Ilmu
Hadits makin maju dan berkembang dan istilah derajat hadits pun
bertambah pula. Ada hadits shohih, hadits hasan lidzatihi, hadits hasan
lighoirihi, hadits mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, hadits dhoif,
munkar, dan maudhu’ dll.
Kedudukan hadits Dhoif
Semua
madzhab Imam yang Empat yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i
dan Imam Hambali sepakat bahwa hadits dhoif tidak boleh dibuang
semuanya, karena hadits dhoif adalah hadits Rasulullah yang berderajat
dhoif, bukan hadits maudhu’. Imam Hambali, madzhab beliau dipakai di
Saudi Arabia dalam Mahkamah Syari’ah di sana, memutuskan bisa mengambil
hukum dengan bersandar pada hadits dhoif sekalipun, jika saja tidak
didapati ada hadits yang shohih dalam perkara tersebut. Imam Syafi’i
memakai hadits dhoif sebagai penyemangat dalam beramal (fadhoilul
a’mal). Demikian juga halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Sebagai contoh: Imam Hambali mengambil hukum bersentuhnya kulit antara
pria dan wanita dewasa yang bukan mahrom membatalkan wudhu’. Padahal
hadits ini kedudukannya dhaif, diriwayatkan dari Aisyah ra. Meskipun
demikian ulama empat mazhab tidak pernah menyesatkan Imam Hambali atas
tindakan beliau yang mengutip hadits dhaif sebagai dalil untuk
menegakkan hukum (hujjah).
Kenapa hadits dhoif tidak serta merta dibuang?
Imam Hambali umpamanya. Beliau menghafal sejuta hadits lengkap dengan
sanad-sanadnya. Namun kenyataannya, hadits yang beliau hafal itu hanya
sempat dituliskan sebanyak 27.688 buah hadits.
Nah, kemana perginya yang 970 ribuan hadits lagi?
Semua yang tersisa itu Tentu karena TIDAK DAPAT DITULISKAN, BUKAN KARENA DIBUANG begitu saja!
Hal ini disebabkan karena kesibukan sang Imam dalam mengajar
sehari-hari, menjawab pertanyaan masyarakat, memberi fatwa dan juga
beribadah untuk dirinya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam
Hambali setiap malam melakukan sholat sekitar 300 rakaat banyaknya.
Belum lagi karena keterbatasan peralatan saat itu. Kertas belum banyak,
juga tinta dan pena masih sangat sederhana. Sementara mesin ketik, alat
cetak, apalagi computer sama sekali belum ada. Sebab itulah sedikit
sekali hadits yang beliau hafal itu yang sempat ditulis dan sampai
kepada kita.
Namun demikian, tidaklah serta merta
hadits-hadits yang tidak sempat ditulis itu terbuang dan hilang begitu
saja. Para murid yang setiap hari bergaul dengan sang guru pasti sempat
memperhatikan dan menghafal setiap gerak langkah sang guru. Dan, gerak
langkah sang guru ini pastilah sesuai dengan tuntunan sejuta hadits yang
beliau hafal di dadanya. Sehingga kelak setelah sang guru wafat para
muridnya mulai menulis dalam berbagai masalah dengan rujukan perilaku
atau fiil sang guru tersebut. Perilaku sang guru tersebut kemudian hari
dituliskan juga sebagai hadits yang terwarisi oleh kita sehingga kini.
Dalam rangka memilah dan memilih hadits dhaif para ulama hadits empat
mazhab membagi-baginya dalam berbagai bagian. Ada yang membaginya ke
dalam 42 bagian, ada yang membaginya menjadi 49 bagian dan ada yang
membaginya ke dalam 89 bagian. Hadits-hadits inilah yang dipilah dan
dipilih dan sebagiannya dapat diamalkan juga karena dhaifnya tidak
keterlaluan.
Ulama hadits bukanlah sembarangan orang.
Mereka memiliki ukuran tersendiri agar masuk ke dalam golongan ulama
hadits. Ada ulama hadits yang sampai derajat hafizh, yakni mereka yang
telah menghafal 100 ribu hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Di atas
derajat hafizh ada yang disebut ulama hujjah, yakni mereka yang
menghafal 300 ribu hadits beserta sanad-sanadnya. Di atas kedua derajat
ini ada lagi yang dinamai hakim, yakni yang kemampuannya diatas hafizh
dan hujjah. Dahsyat bukan?
Sayangnya, ada segelintir
manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seorang hafizh, bukan pula
seorang hujjah apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani
bersuara lantang mengkritik dan menuduh sesat amal serta keputusan
ulama-ulama hadits terdahulu. Kata mereka hadits ini dhoif, hadits itu
maudhu’, hadits ini munkar menyalahi pendapat ahli hadits tempo dulu,
padahal mereka tidak pernah sekalipun bertemu dengan salah seorang
pemangku (sanad) dari hadits yang mereka kritik itu. Sementara yang
mereka caci itu justru orang-orang yang pernah kenal, bertemu dan
bergaul langsung dengan para sanad tersebut. Lantas, ketika mereka sudah
mengatakan sanad ini dan sanad itu terpercaya, tiba-tiba muncul manusia
yang lahir entah zaman kapan dan hanya bermodal membaca buku di
perpustakaan, seenaknya saja menyalahkan ulama-ulama hadits tempo dulu,
dan merasa paling benar.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un .
Lalu mereka yang manakah yang patut kita percaya?
Sebagai contoh sebuah persoalan adalah masalah qunut shubuh. Imam
Syafi’I, Imam Hakim, Imam Daruquthni, dan Imam Baihaqi sepakat
mengatakan bahwa hadits qunut shubuh adalah shahih, sanadnya bagus, dan
mengamalkannya adalah sunat. Tiba-tiba muncul manusia zaman sekarang
dengan modal nekat berani mengatakan qunut shubuh itu bid’ah, dan
seluruh pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka. Padahal, seluruh
ulama Imam Empat Madzhab tidak pernah mengatakan qunut shubuh itu bid’ah
meskipun mereka tidak mengamalkannya.
Sekarang terserah anda
mau percaya ulama hadits yang telah teruji tempo dulu, atau orang-orang
nekat akhir zaman yang rusak ini!
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar