Al-Imam Ahmad bin Isa Al–Muhajir

Al-Imam Ahmad bin Isa Al – Muhajir dilahirkan sekitar tahun 273 H / 853 M dan besar di Iraq tepatnya di kota Bashrah. Al Muhajir tumbuh dan berkembang dibawah Asuhan kedua orang tuanya dengan nuansa keilmuan religi yang sangat kental.Sejak kecil, wajahnya sudah mengguratkan kepiawaian, kedamaian, dan kebahagian. Beliau juga berkemauan keras, terutama dalam beramal kebajikan.Kedudukannya yang tinggi dan mulia di masyarakat Bashrah dan kekayaan yang beliau miliki tidak memalingkan hatinya dari ibadah dan dakwah.
Kitab-Kitab Maulid
Karya-karya tulis yang berisi Al-Mada’ih An-Nabawiyyah (puji-pujian
bagi Nabi Muhammad SAW), yang lazim dibacakan saat peringatan Maulid,
biasa kita sebut kitab-kitab Maulid.
Kebanyakan penulis kitab Maulid adalah hafizh, muhaddits (ahli hadits), dan ulama yang termasyhur. Hafizh adalah sebutan bagi orang yang telah menghafal setidaknya seratus ribu hadits berikut sanadnya. Dan mereka telah terlebih dahulu menghafal Al-Quran. Tentunya mereka menyusun kitab Maulid berdasarkan ilmu mereka yang bagaikan samudera. Riwayat yang mereka tuliskan berdasarkan hadits-hadits shahih yang mereka ketahui sanadnya. Jelaslah bagi umat Islam bahwa momentum Maulid Nabi begitu dimuliakan oleh para ulama silam.
Tidak sedikit kitab Maulid yang ditulis dalam bentuk syair dan mempunyai nilai sastra yang sangat tinggi. Rasulullah sendiri amat senang akan syair yang indah. Tercatat di dalam hadits riwayat Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad dan kitab-kitab lain, Rasulullah SAW bersabda,
Kebanyakan penulis kitab Maulid adalah hafizh, muhaddits (ahli hadits), dan ulama yang termasyhur. Hafizh adalah sebutan bagi orang yang telah menghafal setidaknya seratus ribu hadits berikut sanadnya. Dan mereka telah terlebih dahulu menghafal Al-Quran. Tentunya mereka menyusun kitab Maulid berdasarkan ilmu mereka yang bagaikan samudera. Riwayat yang mereka tuliskan berdasarkan hadits-hadits shahih yang mereka ketahui sanadnya. Jelaslah bagi umat Islam bahwa momentum Maulid Nabi begitu dimuliakan oleh para ulama silam.
Tidak sedikit kitab Maulid yang ditulis dalam bentuk syair dan mempunyai nilai sastra yang sangat tinggi. Rasulullah sendiri amat senang akan syair yang indah. Tercatat di dalam hadits riwayat Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad dan kitab-kitab lain, Rasulullah SAW bersabda,
April Mop, Sebuah Tragedi Kejahatan Kemanusian atas Umat Islam
Sebenarnya, April Mop adalah sebuah
perayaan hari kemenangan atas dibantai dan dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh
tentara salib yang dilakukan lewat cara-cara penipuan. Sebab itulah,
mereka merayakan April Mop dengan cara melegalkan penipuan dan
kebohongan walau dibungkus dengan dalih sekadar hiburan atau keisengan
belaka.Biasanya orang akan menjawab bahwa April
Mop—yang hanya berlaku pada tanggal 1 April—adalah hari di mana kita
boleh dan sah-sah saja menipu teman, orangtua, saudara, atau lainnya,
dan sang target tidak boleh marah atau emosi ketika sadar bahwa dirinya
telah menjadi sasaran April Mop. Biasanya sang target, jika sudah sadar
kena April Mop, maka dirinya juga akan tertawa atau minimal mengumpat
sebal, tentu saja bukan marah sungguhan.
Walaupun belum sepopuler perayaan tahun
baru atau Valentine’s Day, budaya April Mop dalam dua dekade terakhir
memperlihatkan kecenderungan yang makin akrab di masyarakat perkotaan
kita. Terutama di kalangan anak muda. Bukan mustahil pula, ke depan juga
akan meluas ke masyarakat yang tinggal di pedesaan. Ironisnya,
masyarakat dengan mudah meniru kebudayaan Barat ini tanpa mengkritisinya
terlebih dahulu, apakah budaya itu baik atau tidak, bermanfaat atau
sebaliknya.
Perayaan April Mop berawal dari suatu
tragedi besar yang sangat menyedihkan dan memilukan? April Mop, atau The
April’s Fool Day, berawal dari satu episode sejarah Muslim Spanyol di
tahun 1487 M, atau bertepatan dengan 892 H.
Sejak dibebaskan Islam pada abad ke-8 M
oleh Panglima Thariq bin Ziyad, Spanyol berangsur-angsur tumbuh menjadi
satu negeri yang makmur. Pasukan Islam tidak saja berhenti di Spanyol,
namun terus melakukan pembebasan di negeri-negeri sekitar menuju
Perancis. Perancis Selatan dengan mudah dibebaskan. Kota Carcassone,
Nimes, Bordeaux, Lyon, Poitou, Tours, dan sebagainya jatuh. Walaupun
sangat kuat, pasukan Islam masih memberikan toleransi kepada suku Goth
dan Navaro di daerah sebelah barat yang berupa pegunungan. Islam telah
menerangi Spanyol.
Karena sikap para penguasa Islam yang
begitu baik dan rendah hati, banyak orang-orang Spanyol yang kemudian
dengan tulus dan ikhlas memeluk Islam. Muslim Spanyol bukan saja
beragama Islam, namun sungguh-sungguh mempraktikkan kehidupan secara
Islami. Tidak saja membaca Al-Qur’an, namun bertingkah-laku berdasarkan
Al-Qur’an. Mereka selalu berkata tidak untuk musik, bir, pergaulan
bebas, dan segala hal yang dilarang Islam. Keadaan tenteram seperti itu
berlangsung hampir enam abad lamanya.
Selama itu pula kaum kafir yang masih
ada di sekeliling Spanyol tanpa kenal lelah terus berupaya membersihkan
Islam dari Spanyol, namun selalu gagal. Maka dikirimlah sejumlah
mata-mata untuk mempelajari kelemahan umat Islam Spanyol.
Akhirnya mereka menemukan cara untuk
menaklukkan Islam, yakni dengan pertama-tama melemahkan iman mereka
melalui jalan serangan pemikiran dan budaya. Maka mulailah secara
diam-diam mereka mengirimkan alkohol dan rokok/ganja secara gratis ke
dalam wilayah Spanyol. Musik diperdengarkan untuk membujuk kaum mudanya
agar lebih suka bernyanyi dan menari daripada membaca Al Qur’an. Mereka
juga mengirimkan sejumlah ulama palsu untuk meniup-niupkan perpecahan ke
dalam tubuh umat Islam Spanyol. Lama-kelamaan upaya ini membuahkan
hasil.
Akhirnya Spanyol jatuh dan bisa dikuasai
pasukan salib. Penyerangan oleh pasukan salib benar-benar dilakukan
dengan kejam tanpa mengenal peri kemanusiaan. Tidak hanya pasukan Islam
yang dibantai, tetapi juga penduduk sipil, wanita, anak-anak kecil,
orang-orang tua. Satu-persatu daerah di Spanyol jatuh.
Granada adalah daerah terakhir yang
ditaklukkan. Penduduk-penduduk Islam di Spanyol (juga disebut orang
Moor) terpaksa berlindung di dalam rumah untuk menyelamatkan diri.
Tentara-tentara salib terus mengejar mereka. Ketika jalan-jalan sudah
sepi, tinggal menyisakan ribuan mayat yang bergelimpangan bermandikan
genangan darah, tentara salib mengetahui bahwa banyak muslim Granada
yang masih bersembunyi di rumah-rumah. Dengan lantang tentara salib itu
meneriakkan pengumuman, bahwa para Muslim Granada bisa keluar dari rumah
dengan aman dan diperbolehkan berlayar keluar Spanyol dengan membawa
barang-barang keperluan mereka.
Orang-orang Islam masih curiga dengan
tawaran ini. Namun beberapa dari orang Muslim diperbolehkan melihat
sendiri kapal-kapal penumpang yang sudah dipersiapkan di pelabuhan.
Setelah benar-benar melihat ada kapal yang sudah disediakan, mereka pun
segera bersiap untuk meninggalkan Granada dan berlayar meninggalkan
Spanyol.
Keesokan harinya, ribuan penduduk muslim
Granada keluar dari rumah-rumah mereka dengan membawa seluruh
barang-barang keperluan, beriringan berjalan menuju ke pelabuhan.
Beberapa orang Islam yang tidak mempercayai pasukan salib, memilih
bertahan dan terus bersembunyi di rumah-rumah mereka. Setelah ribuan
umat Islam Spanyol berkumpul di pelabuhan, dengan cepat tentara salib
menggeledah rumah-rumah yang telah ditinggalkan penghuninya. Lidah api
terlihat menjilat-jilat angkasa ketika mereka membakari rumah-rumah
tersebut bersama dengan orang-orang Islam yang masih bertahan di
dalamnya.
Sedang ribuan umat Islam yang tertahan
di pelabuhan, hanya bisa terpana ketika tentara salib juga membakari
kapal-kapal yang dikatakan akan mengangkut mereka keluar dari Spanyol.
Kapal-kapal itu dengan cepat tenggelam. Ribuan umat Islam tidak bisa
berbuat apa-apa karena sama sekali tidak bersenjata. Mereka juga
kebanyakan terdiri dari para perempuan dengan anak-anaknya yang masih
kecil-kecil. Sedang para tentara salib telah mengepung mereka dengan
pedang terhunus.
Dengan satu teriakan dari pemimpinnya,
ribuan tentara salib segera membantai umat Islam Spanyol tanpa rasa
belas kasihan. Jerit tangis dan takbir membahana. Seluruh Muslim Spanyol
di pelabuhan itu habis dibunuh dengan kejam. Darah menggenang di
mana-mana. Laut yang biru telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman.
Tragedi ini bertepatan dengan tanggal 1
April. Inilah yang kemudian diperingati oleh dunia kristen setiap
tanggal 1 April sebagai April Mop (The April’s Fool Day). Pada tanggal 1
April, orang-orang diperbolehkan menipu dan berbohong kepada orang
lain. Bagi umat kristiani, April Mop merupakan hari kemenangan atas
dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh tentara salib lewat cara-cara
penipuan. Sebab itulah, mereka merayakan April Mop dengan cara
melegalkan penipuan dan kebohongan walau dibungkus dengan dalih sekedar
hiburan atau keisengan belaka.
Bagi umat Islam, April Mop tentu
merupakan tragedi yang sangat menyedihkan. Hari di mana ribuan
saudara-saudaranya se-iman disembelih dan dibantai oleh tentara salib di
Granada, Spanyol. Sebab itu, adalah sangat tidak pantas juga ada orang
Islam yang ikut-ikutan merayakan tradisi ini. Siapapun orang Islam yang
turut merayakan April Mop, maka ia sesungguhnya tengah merayakan ulang
tahun pembunuhan massal ribuan saudara-saudaranya di Granada, Spanyol, 5
abad silam.
Jadi, perhatikan sekeliling Anda, anak Anda, atau Anda sendiri, mungkin terkena bungkus jahil April Mop tanpa kita sadari. (berbagai sumber)
Anda mungkin juga meminati:
Orang Mati Bisa Mendengar?
Di dalam kitab Tafsir Ahkam, Imam Al Qurtubi menguraikan bahwa firman Allah:
فَإِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى
“Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar….” (QS. Ar-Rum: 52)
adalah berkaitan dengan peristiwa
pertanyaan sahabat Umar bin Khattab saat Rasulullah SAW memanggil tiga
orang pemimpin kafir Quraisy dalam perang Badar yang telah mati beberapa
hari. Saat itu Rasulullah SAW ditanya oleh Umar bin Khattab RA:
يا رسول الله تناديهم بعد ثلاث وهل يسمعون ؟
يقول الله إنك لا تسمع الموتى فقال : والذي نفسي بيده ما أنتمبأسمع منهم
ولكنهم لا يطيقون أن يجيبوا
“Ya
Rasulullah!, apakah engkau memanggil-manggil mereka yang telah
meninggal tiga hari bisa mendengarkan panggilanmu. Bukankah Allah SWT
telah berfirman dalam al Auran: sesungguhnya kamu tidak akan sanggup
menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar?. Rasulullah SAW
menjawab: ‘Demi Dzat yang jiwaku ada dalam kekuasaan-Nya, tidaklah
engkau sanggup mendengar mereka, mereka lebih mendengar daripada kamu
hanya saja mereka tidak mampu menjawab’.”(HR. Muslim dari Imam Anas RA).
Menurut hadits Shohihain (Bukhari Muslim)
dari sanad yang berbeda-beda, Rasulullah SAW pernah berbicara kepada
orang-orang kafir yang tewas dalam perang Badar saat mereka dibuang di
sumur Qulaib kemudian Rasulullah SAW berdiri dan memanggil nama-nama
mereka: “Ya Fulan bin Fulan 2x) : “Apakah engkau telah mendapatkan
janji dari Tuhanmu dengan benar, sedangkan saya telah mendapatkan janji
yang benar pula dari Tuhanku.”
Menurut Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya,
bahwa yang dipanggil oleh Rasulullah SAW itu adalah: Abu Jahal bin
Hisyam, Utbah bin Robi’ah dan Syaibah bin Robi’ah. Ketiganya itu adalah
tokoh kafir Quraisy. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Anas bin Malik.
Dalam riwayat lain menyebutkan bahwa orang
yang mati apabila sudah dikuburkan dan orang yang menguburkan itu
kembali pulang, maka dia (ahli kubur) itu mampu mendengar gesekan suara
sandal. Menurut Imam Al-Qurtubi, orang yang sudah meninggal itu bukan
berarti mereka tidak lenyap sama sekali juga tidak pula rusak hubungan
dengan orang yang masih hidup. Tetapi yang meninggal itu hanya terputus
hubungan antara ruh dan badan dan hanya berpindah dari alam dunia ke
alam kubur.
(Tafsir Ahkam Juz 7: hal 326).
(Tafsir Ahkam Juz 7: hal 326).
Dengan demikian apakah orang yang
meninggal itu bisa mendengar orang yang masih hidup saat memberi salam
atau lainya? Cukup jelas keterangan ayat dan hadits pada peristiwa dia
atas. Untuk lebih jelasnya lagi, kita bisa membuka Kitab Ar Ruh karangan
Ibnu Qoyyim Al Jauziyah (Juz I halaman 5). Murid kesayangan Ibnu
Taimiyah ini mengatakan bahwa, pada halaman itu tertulis riwayat Ibnu
Abdil Bar yang menyandarkan kepada ketetapan Sabda Rasulullah SAW:
ما من مسلم يمر على قبر أخيه كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا رد الله عليه روحه حتى يرد عليه السلام
“Orang-orang
muslim yang melewati kuburan saudaranya yang dikenal saat hidupnya
kemudian mengucapkan salam, maka Allah mengembalikan ruh saudaranya yang
meninggal itu untuk menjawab salam temanya.”
Bahkan menurut Ulama Salaf mereka telah
ijma’ (sepakat) bahwa masalah orang yang mati itu mampu mengenal
orang-orang yang masih hidup pada saat berziarah, bahkan para ahli kubur
mersasa gembira atas dengan kedatangan para peziarah. Hal ini, menurut
Ibnu Qoyyim, merupakan riwayat atsar yang mutawatir.
Selengkapnya kata-kata Ibnu Qoyyim itu adalah sebagai berikut:
والسلف مجمعون على هذاوقد تواترت الآثار عنهم بأن الميت يعرف زيارة الحي له ويستبشر به
Ibnu Qoyyim mengutip ungkapan Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Abid bin Abidun-ya dalam kitab Kubur pada bab ma’rifatul mauta biziyaratil ahya’ yang menyebukan hadits sebagai berikut ini:
عن
عائشة رضى الله تعالى عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ما
من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عنده إلا استأنس به ورد عليه حتى يقوم
Dari Aisyah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Siapa
saja yang berziarah ke kuburan saudaranya, kemudian duduk di sisi
kuburnya maka menjadi tenanglah si mayit, dan Allah akan mengembalikan
ruh saudaranya yang meninggal itu untuk menemaninya sampai selesai
berziarah.”
Orang
yang meninggal dunia, akan menjawab salam baik yang dikenal maupun yang
tidak dikenalnya sebagaimana dalam sebuah riwayat hadits berikut:
عن أبى هريرة رضى الله تعالى عنه قال إذا
مرالرجل بقبر أخيه يعرفه فسلم عليه رد عليه السلام وعرفه وإذا مر بقبر لا
يعرفه فسلمعليه رد عليه السلام
Dari
Abi Hurairah ra, Rasulullahsaw bersabda: “Apabila orang yang lewat
kuburan saudaranya kemudian memberi salam, maka akan dibalas salam itu,
dan dia mengenal siapa yang menyalami. Demikian juga mereka (para
mayyit) akan menjawab salamnya orang-orang yang tidak kenal.”
Satu
ketika, Seorang lelaki dari Keluarga ‘Ashim Al Jahdari bercerita bahwa
dia melihat Ashim al Jahdari dalam mimpinya setelah beliau meninggal dua
tahun. Lalu lelaki itu bertanya: “Bukankah Anda sudah meninggal?”
“Betul!” “Lalu dimana sekarang?” “Demi Allah, saya ada didalam taman
Surga. Saya juga bersama sahabat-sahabatku berkumpul setiap malamJum’at
hingga pagi harinya di tempat (kuburan) Bakar bin Abdullah al Muzanni.
Kemudian kami saling bercerita.” “Apakah yang bertemu itu jasadnya saja
atau ruhnya saja?” “Kalau jasad kami sudah hancur, jadi kami berkumpul
dalam ruh” “Apakah Anda sekalian mengenal kalau kami itu berziarah
kepada kalian?” “Benar!, kami mengetahui setiap sore Jum’at dan hari
Sabtu hingga terbit matahari” “Kalau hari lainnya?” “Itulah fadilahnya
hari Jum’at dan kemuliannya”
Cerita itu menurut Ibnu Qoyim bersumber
dari Muhammad bin Husein dari Yahya bin Bustom Al Ashghor dari
Masma’dari Laki-laki keluarga Asyim Al Jahdari. Bahkan bukan sore Jum’at
dan hari Sabtu saja, menurut riwayat Muhammad bin Husein dari Bakar bin
Muhammaddari Hasan Al Qoshob berkata bahwa orang-orang yang sudah
meninggal mampu mengetahui para peziarah pada hari dua hari yang
mengiringi Jum’at yaitu Kamis dan Sabtu.
Ucapaan salam yang disampaikan saat
melewati makbaroh atau berziarah biasanya seperti yang banyak ditulis
dalam kitab hadits yang sangat banyak adalah dengan ungkapan:
السلام عليكم دار قوم مؤمنين وإنا ان شاء الله تعالى بكم لاحقون
“Semoga keselamatan atas kamu wahai kaum mu’minin yang ada di alam kubur, Insya Allah kami akan menyusul.”
Wallahu Alam …..
Sumber: http://www.facebook.com
Kaum Thariqat Motori Gerakan Melawan Penjajah
Peran tarekat tasawuf dalam melakukan
perlawanan terhadap penjajah Belanda juga tampak menonjol dalam Perang
Diponegoro (1825-1830).
Sama halnya dengan di negara-negara
Islam, tarekat tasawuf di nusantara pun tampil di garda depan untuk
melawan dan mengusir penjajah. Sejarah peradaban Islam mencatat, ada
sederet gerakan perlawanan yang dipimpin syekh tasawuf bersama para
pengikutnya untuk melawan penjajah Belanda.
Muslim di nusantara, menurut Prof
Azyumardi Azra dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, terbagi menjadi
dua dalam menyikapi penjajah Belanda. Ada yang melakukan perlawanan
secara terbuka dan ada pula yang melakukan perlawanan secara diam-diam.
Menurut mantan rektor Universitas Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta itu, para ulama dan pengikutnya yang
melakukan perlawanan secara diam melakukan uzlah atau menjauhkan diri
dari penguasa kolonialis kafir. “Uzlah para ulama itulah yang kemudian
telah mendorong terjadinya radikalisasi tarekat dan tasawuf,” ungkapnya.
Gerakan Reformis Paderi
di Minangkabau yang kemudian menjadi perang antikolonialisme, salah
satunya dimotori tarekat tasawuf yang berkembang waktu itu. Gerakan
radikalisasi tarekat terus mendapatkan momentum sepanjang abad ke-19 M.
Peran tarekat tasawuf dalam melakukan
perlawanan terhadap penjajah Belanda juga tampak menonjol dalam Perang
Diponegoro (1825-1830). Dalam pertempuran itu, Pangeran Diponegoro
disokong para kiai, haji, dan kalangan pesantren. Dalam perjuangan yang
dilakukan Diponegoro, Kiai Maja pun tampil sebagai pemimpin spiritual
pemberontakan tersebut.
Guna menarik dukungan dari kalangan
pondok pesantren, tokoh agama, syekh, dan pengikut tarekat, Pangeran
Diponegoro menyebut pemberontakan yang dipimpinnya sebagai perang suci
atau perang sabil. Karena itulah, para pengikut tarekat dan umat Islam
lainnya, pada waktu itu, meyakini pemberontakan Diponegoro sebagai
perang suci untuk mengembalikan pemerintahan Islam di Jawa.
Martin van Bruinessen dalam tulisannnya
bertajuk, “Tarekat dan Politik:Amalan untuk Dunia atau Akhirat?”, juga
mengungkapkan peran dan perjuangan tokoh dan pengikut tarekat dalam
melawan Belanda. Peran tarekat yang tak kalah pentingnya dalam
perlawanan penjajah Belanda juga dilakukan tarekat Sammaniyah di
Palembang dalam Perang Menteng.
Perjuangan para tokoh dan pengikut
tarekat itu berhasil mengalahkan gempuran pertama pasukan Belanda pada
1819. Seorang penyair Melayu menggambarkan bagaimana kaum putihan atau
haji mempersiapkan diri untuk berjihad fi sabillillah. Mereka membaca
asma (al-Malik, al-Jabbar), berzikir, dan beratib dengan suara keras
sampai fana.
Dalam keadaan tak sadar (‘mabuk zikir’)
mereka menyerang tentara Belanda. Mereka berani mati, mungkin juga
merasa kebal lantaran amalan tadi, dan dibalut semangat dan keberanian
mereka berhasil membuat Belanda kocar-kacir. Menurut Bruinessen, tarekat
Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari tanah suci oleh
murid-murid Abdussamad al-Palimbani pada penghujung abad ke-18 M.
Syekh Abdussamad dikenal terutama
sebagai pengarang Sair Al-Salikin dan Hidayat Al-Salikin, dua karya
sastra tasawuf Melayu yang penting. Syekh Abdussamad, kata Bruinessen,
adalah seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia, bahkan mungkin
boleh disebut militan.
Tidak mengherankan kalau murid-muridnya
yang ahli tarekat juga siap untuk berjihad fisik. “Meski begitu, Syaikh
Abdussamad bukanlah ahli tarekat Indonesia pertama yang bersemangat
jihad melawan penjajah non-Muslim,” tutur Bruinessen.
Satu abad sebelum tarekat Sammaniyah
yang dipimpin Syekh Abdussamad melakukan gerakan perlawanan terhadap
Belanda, Syekh Yusuf al-Makassar yang bergelar ‘al-Taj al-Khalwati’
telah melakukan hal yang sama. Di Banten, Syekh Yusuf memimpin 5.000
pasukan dan 1.000 di antaranya berasal dari Makassar telah mengobarkan
perang terhadap ‘kolonial kafir’.
Bahkan, ketika di buang ke Srilanka pun,
Syekh Yusuf terus mengobarkan semangat perlawanan lewat karya-karyanya
kepada para Sultan dan pengikutnya di Gowa dan Banten. Sebagai seorang
sufi, Syekh Yusuf pun telah ikut terjun ke dunia politik saat itu,
dengan menjadi penasehat Sultan Ageng Tirtayasa.
Selain itu, sejarah juga mencatat banyak
lagi gerakan pemberontakan melawan penjajah belanda yang dimotori
tarekat, seperti pemberontakan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan
(1859-1862), kasus Haji Rifa’i (Ripangi) dari Kalisasak (1859),
Peristiwa Cianjur-Sukabumi (1885), Pemberontakan Petani Cilegon-Banten
(1888), Gerakan Petani Samin (1890-1917), dan Peristiwa Garut (1919).
Pemberontakan di Banjarmasin dipimpin
tuan guru yang mengajarkan amalan ‘beratif baamal’, suatu varian amalan
tarekat Sammaniyah. Konon, orang berbondong-bondong datang dibaiat,
mereka berzikir dan membaca ratib sampai tidak sadar lagi dan kemudian
menyerang tentara kolonial tanpa mempedulikan bahaya.
Gerakan Beratif Baamal ini meliputi
hampir seluruh seluruh Banua Lima dan wilayah yang sekarang menjadi
daerah Hulu Sungai Tengah dan Utara Kalimantan Selatan dengan pusat
kegiatan di masjid dan langgar. Pimpinan dari gerakan ini kaum ulama
yang disebut dengan ‘Tuan Guru’. (http://www.republika.co.id)
Haruskah Alergi Terhadap Hadis Dhoif
Oleh Abi Alif Mahdy di Kenapa Takut Bid'ah? 2
Hadits dho’if tidaklah sama dengan hadits maudhu’. Hadits dho’if adalah
hadits yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
bukan hadits yang dikarang-karang atau yang dibuat-buat oleh sembarang
manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya (sanadnya) ada yang terputus
sehingga hadits itu menjadi dhoif, tapi tetap saja hadits dhoif bukan
hadits palsu!
Zaman awal Islam mulai berkembang, hadits
tidaklah dituliskan oleh para sahabat Nabi. Hal ini terjadi karena nabi
melarang menuliskan hadits-hadits baginda yang mulia. Rasul bersabda:
“La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits, Uktubul Qur’an!
Tuliskanlah al Qur’an. (HR Muslim).
Dengan demikian, maka
hadits hanya beredar di kalangan sahabat melalui hafalan dari satu orang
ke orang lain. Hal ini berlangsung sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat
itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai khawatir akan perkembangan
hadits. Ada jutaan orang yang sudah memeluk agama islam, dan generasi
pun telah berubah, tidak lagi terdiri dari sahabat-sahabat Nabi yang
terkenal sangat jujur, tapi juga telah muncul orang-orang di luar
komunitas Arab yang sama sekali tidak jumpa Nabi. Dan, di antara mereka
ada yang kurang mujahadah dalam agama. Saat itu, mulailah muncul
tukang-tukang penjual cerita yang di antara mereka bahkan berani
mengarang-ngarang hadits, dan mengatakan bahwa hadits karangannya itu
berasal dari Nabi. Hal ini ini membuat para Ulama mulai khawatir.
Akhirnya dibuatlah sebuah tindakan bid’ah hasanah oleh Khalifah Umar
bin Abdul Aziz dengan memerintahkan ditulisnya hadits-hadits Nabi,
sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang sangat dilarang oleh Baginda
Nabi. (Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman Ta’biin, yakni orang yang
sempat bertemu dengan Sahabat Nabi, telah sepakat bahwa ada bid’ah yang
hasanah alias bid’ah yang baik dan akan diberi pahala oleh Allah orang
yang melakukannya. Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan
pengumpulan hadits. Hal ini sangat bertentangan dengan faham sekelompok
kecil umat Islam yang mengatakan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat dan
semua para pelakunya kelak akan dicampakkan ke dalam neraka).
Alhamdulillah muncullah ilmu baru dalam dunia Islam yakni ilmu
Musthalah Hadits. Di antaranya adalah ilmu sanad hadits, yakni memeriksa
suatu hadits itu dari orang-orang yang menghafal dan menyampaikannya
terus diurut ke atas sampai kepada shahabat dan bersumber kepada Nabi.
Jika para pemangkunya (sanadnya) tidak terputus, terus bersambung kepada
Nabi, dan secara matan juga bagus maka hadits itu dinyatakan sebagai
hadits shohih. Namun, jika ada sanad yang terputus maka hadits tersebut
disebut hadits dhoif.
Saat itu jenis hadits hanya ada tiga
saja, pertama hadits shohih, kedua hadits dhoif, dan ketiga disebut
hadits maudhu’, yang pada hakekatnya hadits palsu.
Kelak Ilmu
Hadits makin maju dan berkembang dan istilah derajat hadits pun
bertambah pula. Ada hadits shohih, hadits hasan lidzatihi, hadits hasan
lighoirihi, hadits mutawatir lafdzi, mutawatir ma’nawi, hadits dhoif,
munkar, dan maudhu’ dll.
Kedudukan hadits Dhoif
Semua
madzhab Imam yang Empat yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i
dan Imam Hambali sepakat bahwa hadits dhoif tidak boleh dibuang
semuanya, karena hadits dhoif adalah hadits Rasulullah yang berderajat
dhoif, bukan hadits maudhu’. Imam Hambali, madzhab beliau dipakai di
Saudi Arabia dalam Mahkamah Syari’ah di sana, memutuskan bisa mengambil
hukum dengan bersandar pada hadits dhoif sekalipun, jika saja tidak
didapati ada hadits yang shohih dalam perkara tersebut. Imam Syafi’i
memakai hadits dhoif sebagai penyemangat dalam beramal (fadhoilul
a’mal). Demikian juga halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Sebagai contoh: Imam Hambali mengambil hukum bersentuhnya kulit antara
pria dan wanita dewasa yang bukan mahrom membatalkan wudhu’. Padahal
hadits ini kedudukannya dhaif, diriwayatkan dari Aisyah ra. Meskipun
demikian ulama empat mazhab tidak pernah menyesatkan Imam Hambali atas
tindakan beliau yang mengutip hadits dhaif sebagai dalil untuk
menegakkan hukum (hujjah).
Kenapa hadits dhoif tidak serta merta dibuang?
Imam Hambali umpamanya. Beliau menghafal sejuta hadits lengkap dengan
sanad-sanadnya. Namun kenyataannya, hadits yang beliau hafal itu hanya
sempat dituliskan sebanyak 27.688 buah hadits.
Nah, kemana perginya yang 970 ribuan hadits lagi?
Semua yang tersisa itu Tentu karena TIDAK DAPAT DITULISKAN, BUKAN KARENA DIBUANG begitu saja!
Hal ini disebabkan karena kesibukan sang Imam dalam mengajar
sehari-hari, menjawab pertanyaan masyarakat, memberi fatwa dan juga
beribadah untuk dirinya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam
Hambali setiap malam melakukan sholat sekitar 300 rakaat banyaknya.
Belum lagi karena keterbatasan peralatan saat itu. Kertas belum banyak,
juga tinta dan pena masih sangat sederhana. Sementara mesin ketik, alat
cetak, apalagi computer sama sekali belum ada. Sebab itulah sedikit
sekali hadits yang beliau hafal itu yang sempat ditulis dan sampai
kepada kita.
Namun demikian, tidaklah serta merta
hadits-hadits yang tidak sempat ditulis itu terbuang dan hilang begitu
saja. Para murid yang setiap hari bergaul dengan sang guru pasti sempat
memperhatikan dan menghafal setiap gerak langkah sang guru. Dan, gerak
langkah sang guru ini pastilah sesuai dengan tuntunan sejuta hadits yang
beliau hafal di dadanya. Sehingga kelak setelah sang guru wafat para
muridnya mulai menulis dalam berbagai masalah dengan rujukan perilaku
atau fiil sang guru tersebut. Perilaku sang guru tersebut kemudian hari
dituliskan juga sebagai hadits yang terwarisi oleh kita sehingga kini.
Dalam rangka memilah dan memilih hadits dhaif para ulama hadits empat
mazhab membagi-baginya dalam berbagai bagian. Ada yang membaginya ke
dalam 42 bagian, ada yang membaginya menjadi 49 bagian dan ada yang
membaginya ke dalam 89 bagian. Hadits-hadits inilah yang dipilah dan
dipilih dan sebagiannya dapat diamalkan juga karena dhaifnya tidak
keterlaluan.
Ulama hadits bukanlah sembarangan orang.
Mereka memiliki ukuran tersendiri agar masuk ke dalam golongan ulama
hadits. Ada ulama hadits yang sampai derajat hafizh, yakni mereka yang
telah menghafal 100 ribu hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Di atas
derajat hafizh ada yang disebut ulama hujjah, yakni mereka yang
menghafal 300 ribu hadits beserta sanad-sanadnya. Di atas kedua derajat
ini ada lagi yang dinamai hakim, yakni yang kemampuannya diatas hafizh
dan hujjah. Dahsyat bukan?
Sayangnya, ada segelintir
manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seorang hafizh, bukan pula
seorang hujjah apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani
bersuara lantang mengkritik dan menuduh sesat amal serta keputusan
ulama-ulama hadits terdahulu. Kata mereka hadits ini dhoif, hadits itu
maudhu’, hadits ini munkar menyalahi pendapat ahli hadits tempo dulu,
padahal mereka tidak pernah sekalipun bertemu dengan salah seorang
pemangku (sanad) dari hadits yang mereka kritik itu. Sementara yang
mereka caci itu justru orang-orang yang pernah kenal, bertemu dan
bergaul langsung dengan para sanad tersebut. Lantas, ketika mereka sudah
mengatakan sanad ini dan sanad itu terpercaya, tiba-tiba muncul manusia
yang lahir entah zaman kapan dan hanya bermodal membaca buku di
perpustakaan, seenaknya saja menyalahkan ulama-ulama hadits tempo dulu,
dan merasa paling benar.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un .
Lalu mereka yang manakah yang patut kita percaya?
Sebagai contoh sebuah persoalan adalah masalah qunut shubuh. Imam
Syafi’I, Imam Hakim, Imam Daruquthni, dan Imam Baihaqi sepakat
mengatakan bahwa hadits qunut shubuh adalah shahih, sanadnya bagus, dan
mengamalkannya adalah sunat. Tiba-tiba muncul manusia zaman sekarang
dengan modal nekat berani mengatakan qunut shubuh itu bid’ah, dan
seluruh pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka. Padahal, seluruh
ulama Imam Empat Madzhab tidak pernah mengatakan qunut shubuh itu bid’ah
meskipun mereka tidak mengamalkannya.
Sekarang terserah anda
mau percaya ulama hadits yang telah teruji tempo dulu, atau orang-orang
nekat akhir zaman yang rusak ini!
Wallahu a’lam.
Riwayat Tahlilan
Pendapat Imam Asy Syafi’i berkata dalam Al Umm (I/318) ”Aku benci al
ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada
tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui
kesedihan.”
Makna sebenarnya ma’tam adalah perkumpulan ratapan dan tangisan.
Orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka membayar para “penangis” untuk meratap dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya yang bertugas dan dibayar.
Perkumpulan ratapan dan tangisan yang tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam Syafii mengetahui bahwa hal itu buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan menjerit-menjerit, tapi disebut perkumpulan duka, namun beliau tak menjatuhkan hukum haram, akan tetapi makruh, karena ma’tam yg ada dimasa beliau sudah jauh berbeda dg ma’tam yg dimasa Jahiliyah, karena jika ma’tam yg dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat dimasa beliau masih ada sisa sisa perkumpulan tangisan dirumah duka, maka beliau memakruhkannya
Hal yang harus kita ingat bahwa kalimat “benci/membenci” pada lafadh para muhadditsin yg dimaksud adalah “Kariha/yakrahu/Karhan” yg berarti Makruh.
Makruh mempunyai dua makna, yaitu :makna bahasa dan makna syariah.
Makna makruh secara bahasa adalah benci,
makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
Dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib
Jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yg disampaikan, maka jelas sudah makna ucapan imam syafi’i itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram
Jika mereka menetapkan hukum pastilah diikuti dengan dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits.
Ke-makruh-an timbul jika ahli waris dapat menimbulkan suasana hati yang disebut oleh Imam Asy Syafi’i sebagai “memperbaharui kesedihan” atau kemungkinan timbul suasana hati yang tidak ikhlas akan ketetapan Allah Azza wa Jalla terhadap ahli kubur.
Keberhasilan dakwah Wali Songo (Wali Allah generasi ke sembilan) tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.
Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan atau ke-riang-an lainnya.
Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian sekarang tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Disini tahlil muncul sebagai terobosan cerdik dan solutif dalam merubah kebiasaan negatif masyarakat, solusi seperti ini pula yang disebut sebagai kematangan sosial dan kedewasaan intelektual sang da’i yaitu Walisongo.
Kematangan sosial dan kedewasaan intelektual yang benar-benar mampu menangkap teladan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dalam melakukan perubahan sosial bangsa Arab jahiliyah. Dinamika pewahyuan Al-Quran pun sudah cukup memberikan pembelajaran bahwa melakukan transformasi sosial sama sekali bukan pekerjaan mudah, bukan pula proses yang bisa dilakukan secara instant.
Jadi acara kumpul di rumah ahli waris diisi dengan amal kebaikan berupa pembacaan untaian doa, dzikir, pembacaan surat Yasiin dan tahlil.
Tujuan Wali Songo mengisi acara kumpul dengan amal kebaikan agar tidak timbul kesedihan atau yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i pada awal tulisan ini sebagai “memperbaharui kesedihan” pada ahli waris dengan adanya dzikrullah untuk menegaskan ke Maha Kuasa an sehingga suasana hati ahli waris tetap ikhlas menerima takdir Allah ta’ala terhadap ahli kubur.
Sehingga acara tahlilan bermanfaat sebagaimana manfaat ziarah kubur antara lain.
1. Dapat mendoakan ahli kubur
2. Dapat mengingat mati.
3. Dapat mencegah dari perbuatan-perbuatan maksiat.
4. Dapat melemaskan hati seseorang yang mempunyai hati yang keras.
5. Dapat menghilangkan kegembiraan dunia (sehingga lupa akan kehidupan akherat).
6. Dapat meringankan musibah (bencana).
7. Dapat menolak kotoran hati.
8. Dapat mengukuhkan hati, sehingga tidak terpengaruh dari ajakan-ajakan yang dapat menimbulkan dosa.
9. Dapat merasakan bagaimana keadaan seseorang itu ketika akan menghadapi ajalnya (sakaratul maut).
10. Dapat mengingatkan untuk selalu mempersiapkan bekal sebelum kedatangan ajal. Sebaik-baik bekal adalah selalu menjalankan amal ketaatan (menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya) dan mengerjakan amal kebaikan (amal sholeh).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
Makna sebenarnya ma’tam adalah perkumpulan ratapan dan tangisan.
Orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka membayar para “penangis” untuk meratap dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya yang bertugas dan dibayar.
Perkumpulan ratapan dan tangisan yang tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam Syafii mengetahui bahwa hal itu buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan menjerit-menjerit, tapi disebut perkumpulan duka, namun beliau tak menjatuhkan hukum haram, akan tetapi makruh, karena ma’tam yg ada dimasa beliau sudah jauh berbeda dg ma’tam yg dimasa Jahiliyah, karena jika ma’tam yg dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat dimasa beliau masih ada sisa sisa perkumpulan tangisan dirumah duka, maka beliau memakruhkannya
Hal yang harus kita ingat bahwa kalimat “benci/membenci” pada lafadh para muhadditsin yg dimaksud adalah “Kariha/yakrahu/Karhan” yg berarti Makruh.
Makruh mempunyai dua makna, yaitu :makna bahasa dan makna syariah.
Makna makruh secara bahasa adalah benci,
makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
Dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib
Jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yg disampaikan, maka jelas sudah makna ucapan imam syafi’i itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram
Jika mereka menetapkan hukum pastilah diikuti dengan dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits.
Ke-makruh-an timbul jika ahli waris dapat menimbulkan suasana hati yang disebut oleh Imam Asy Syafi’i sebagai “memperbaharui kesedihan” atau kemungkinan timbul suasana hati yang tidak ikhlas akan ketetapan Allah Azza wa Jalla terhadap ahli kubur.
Keberhasilan dakwah Wali Songo (Wali Allah generasi ke sembilan) tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.
Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan atau ke-riang-an lainnya.
Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian sekarang tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Disini tahlil muncul sebagai terobosan cerdik dan solutif dalam merubah kebiasaan negatif masyarakat, solusi seperti ini pula yang disebut sebagai kematangan sosial dan kedewasaan intelektual sang da’i yaitu Walisongo.
Kematangan sosial dan kedewasaan intelektual yang benar-benar mampu menangkap teladan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dalam melakukan perubahan sosial bangsa Arab jahiliyah. Dinamika pewahyuan Al-Quran pun sudah cukup memberikan pembelajaran bahwa melakukan transformasi sosial sama sekali bukan pekerjaan mudah, bukan pula proses yang bisa dilakukan secara instant.
Jadi acara kumpul di rumah ahli waris diisi dengan amal kebaikan berupa pembacaan untaian doa, dzikir, pembacaan surat Yasiin dan tahlil.
Tujuan Wali Songo mengisi acara kumpul dengan amal kebaikan agar tidak timbul kesedihan atau yang dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i pada awal tulisan ini sebagai “memperbaharui kesedihan” pada ahli waris dengan adanya dzikrullah untuk menegaskan ke Maha Kuasa an sehingga suasana hati ahli waris tetap ikhlas menerima takdir Allah ta’ala terhadap ahli kubur.
Sehingga acara tahlilan bermanfaat sebagaimana manfaat ziarah kubur antara lain.
1. Dapat mendoakan ahli kubur
2. Dapat mengingat mati.
3. Dapat mencegah dari perbuatan-perbuatan maksiat.
4. Dapat melemaskan hati seseorang yang mempunyai hati yang keras.
5. Dapat menghilangkan kegembiraan dunia (sehingga lupa akan kehidupan akherat).
6. Dapat meringankan musibah (bencana).
7. Dapat menolak kotoran hati.
8. Dapat mengukuhkan hati, sehingga tidak terpengaruh dari ajakan-ajakan yang dapat menimbulkan dosa.
9. Dapat merasakan bagaimana keadaan seseorang itu ketika akan menghadapi ajalnya (sakaratul maut).
10. Dapat mengingatkan untuk selalu mempersiapkan bekal sebelum kedatangan ajal. Sebaik-baik bekal adalah selalu menjalankan amal ketaatan (menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya) dan mengerjakan amal kebaikan (amal sholeh).
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
HUKUM TAHLILAN (KENDURI ARWAH - SELAMATAN KEMATIAN ) MENURUT MADZHAB IMAM SYAFI’I
MUQADDIMAH
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.
Tahlilan, sebagian kaum Muslimin menyebutnya dengan “majelis tahlil”, “selamatan kematian”, “kenduri arwah” dan lain sebagainya. Apapun itu, pada dasarnya tahlilan adalah sebutan untuk sebuah kegiatan dzikir dan bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Yang mana didalamnya berisi kalimat-kalimat thayyibah, tahmid, takbir, tasybih hingga shalawat, do’a dan permohonan ampunan untuk orang yang meninggal dunia, pembacaan al-Qur’an untuk yang meninggal dunia dan yang lainnya. Semua ini merupakan amaliyah yang tidak ada yang bertentangan dengan syariat Islam bahkan merupakan amaliyah yang memang dianjurkan untuk memperbanyaknya.
Istilah tahlilan sendiri diambil dari mashdar dari fi’il madzi “Hallalla – Yuhallilu – Tahlilan”, yang bermakna membaca kalimat Laa Ilaaha Ilaallah. Dari sini kemudian kegiatan merahmati mayyit ini di namakan tahlilan karena kalimat thayyibah tersebut banyak dibaca didalamnya dan juga penamaan seperti ini sebagaimana penamaan shalat sunnah tasbih, dimana bacaan tasbih dalam shalat tersebut dibaca dengan jumlah yang banyak (300 kali), sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Namun, masing-masing tempat kadang memiliki sebutan tersendiri yang esensinya sebenarnya sama, sehingga ada yang menyebutnya sebagai “Majelis Tahlil”, “Selamatan Kematian”, “Yasinan” (karena dimulai dengan pembacaaan Yasiin), “Kenduri Arwah”, “Tahlil”, dan lain sebagainya.
Tahlilan sudah ada sejak dahulu, di Indonesia pun atau Nusantara pun tahlilan sudah ada jauh sebelum munculnya aliran yang kontra, yang mana tahlilan di Indonesia di prakarsai oleh para ulama seperti walisongo dan para da’i penyebar Islam lainnya. Tahlilan sebagai warisan walisongo terus di laksanakan oleh masyarakat muslim hingga masa kini bersamaan dengan sikap kontra segelintir kaum muslimin yang memang muncul di era-era dibelakangan. Dalam bahasan ini setidaknya ada beberapa hal pokok dalam tahlilan yang harus dipaparkan sebab kadang sering dipermasalah. Untuk mempermudah memahami masalah ini yakni amaliyah-amaliyah masyru’ yang terdapat dalam tahlilan (kenduri arwah) maka bisa di rincikan sebagai berikut :
I. DO’A UNTUK ORANG MATI
II. SHADAQAH UNTUK ORANG MATI
III. QIRA’ATUL QUR’AN UNTUK ORANG MATI
PERMASALAHAN QAUL MASYHUR
HILANGNYA PERSELISIHAN DAN PENERAPAN DALAM TAHLILAN
IV. JAMUAN MAKAN PADA PERKUMPULAN KEGIATAN TAHLIL
PENJELASAN TERKAIT HADITS KELUARGA JA’FAR
PENJELASAN TERKAIT HADITS JARIR BIN ABDULLAH
Haramnya Niyahah dan Pengertian Niyahah
V. SEJAK DAHULU KALA DAN TERJADI DI MAKKAH JUGA MADINAH
VI. PENGHARAMAN TAHLILAN DILUAR AKAL SEHAT
Niyahah Versus Tahlilan
Bolehnya Menangisi Mayyit
Ma’tam Versus Tahlilan (Kenduri Arwah)
VII. PENTING : TIDAK SETIAP BID’AH DIHUKUMI HARAM (BID’AH BUKAN HUKUM)
LANJUT MASALAH BID’AH
Pendefinisian Bid’ah
VIII. PENTING : ALIRAN WAHABI SEBAGAI BID’AH MUHARRAMAH
IIX. BEBERAPA KOMENTAR ULAMA
al-Mughni lil-Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali
Al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’, Imam Ibnu Muflah al-Maqdisi
Al-Inshaf fiy Ma’rifatir Rajih minal Khilaf, Imam ‘Alauddin al-Mardawi
Al-‘Uddah syarh al-‘Umdah, Imam Abdurrahman bin Ibrahim al-Maqdisi al-Hanbali
Zadul Mustaqni’ fi Ikhtishar al-Muqna’, Imam Syarifuddin Musa al-Hajawi
Ar-Raudl al-Marbi’ syarh Zaad al-Mustaqni', Imam al-Bahuti al-Hanbali
Al-Bahr ar-Raiq syarh Kanz ad-Daqaid, Imam Ibnu Najim al-Mishri al-Hanafi
Muraqi al-Falah syarh Matn Nur al-Idlah, Imam Hasan bin ‘Ammar al-Mishri al-Hanafi
Al-Fiqhu ‘alaa Madzahibil Arba’ah, Syaikh Abdurrahman al-Jaziri
Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jami’ at-Turmidzi, Syaikh Abul ‘Alaa al-Mubarakfuri
Mirqatul Mafaatiih syarh Misykah al-Mashaabih, al-Mulla 'Ali al-Qarii
Madzhab Zaidiyyah (Madzhab Yang Lebih Dekat Ke 4 Madzhab)
- Naylul Awthaar, Imam Muhammad bin 'Ali asy-Syawkani
- Subulus Salaam, al-Amir ‘Izzuddin Ash-Shan’ani
IX. FATWA IBNU TAIMIYAH DAN IBNUL QAYYIM AL-JAUZIYYAH
QS. an-Najm Ayat 39 dan Hadits Terputusnya Amal
Hukum Keluarga al-Marhum membaca al-Qur’an Untuk Mayyit
Ibnu Taimiyah Pernah Ditanya Hal Yang Sama (al-Qiraa'ah lil-Mayyit)
Bertahlil 70.000 Kali Dan Menghadiahkan Kepada Mayyit
Pasal Khusus Tentang Membaca al-Qur’an Untuk Mayyit
Ibnu Taimiyyah Hanya Bicara Soal Keutamaan (Afdlaliyah)
Penuturan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (Murid Ibnu Taimiyah)
X. KOMENTAR ALIRAN WAHHABIYAH
Polemik Seputar Ahkam at-Tamanni al-Mawt
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Shalih bin Fauzan al-Fauzan
Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz
Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif Alu asy-Syaikh
Komisi Fatwa Kerajaan Bani Saud (al-Lajnah ad-Daimah)
XI. PENUTUP
Semoga dengan semua ini bisa memberikan informasi berimbang mengenai komentar para ulama Ahl Sunnah wal Jama’ah demikian juga komentar dari yang tidak menyetujui. Wallahu A’lam []
Al-Faqir ats-Tsauriy (Bangkalan) || http://ashhabur-royi.blogspot.com
Download Ebook (PDF, 727.21 KB) :
4shared [dot] com
Mediafile [dot] com
Ziddu [dot] com
Baru versi CHM :
Tahlilan Menurut al-Imam ar-Ramli asy-Syafi’i Dalam Kitab Hasyiyatani Qalyubiy wa ‘Umairah ?
“Disunnahkan (bagi tetangga ahlul mayyit untuk menyiapkan makanan yang
mengenyangkan siang dan malam mereka) karena mereka sibuk dengan
kesedihan mereka (dan –disunnahkan- memaksa mereka untuk makan), agar
mereka tidak lemah kerena tidak makan, (dan haram menyiapkan makanan
untuk wanita yang meratap, wallahu a’lam) karena mendukung atas
kema’siatan, dan perkataan “bagi tetangga ahlul mayyit” adalah lebih
bagus, sebagaimana (an-Nawawi) berkata didalam ar-Raudlah dari qaul
ar-Rafi’i, bagi tetangganya supaya masuk didalamnya (mengurusinya)
apabila mayyit berada pada sebuah negeri sedangkan keluarganya berada
pada negeri yang lainya dan jauh dari kerabat-kerabatnya, sebagaimana
tetangga yang telah dituturkan didalam ar-Raudlah, dan asal pada yang
demikian adalah sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika datang
khabar pembunuhan Ja’far bin Abdi Thalib pada perang Mu’tah :
“hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena sungguh telah tiba
sesuatu yang membuat mereka sibuk”, Abu Daud dan yang lainnya
meriwayatkannya dan at-Turmidzi menghasankannya. al-Hakim berkata ;
shahih sanadnya. Mu’tah dengan mim dibaca dhammah dan hamzahnya disukun
adalah sebuah tempat yang terkenal di al-Kark. [1]
Hasyiyah al-Qalyubiy
Frasa (bagi tetangga ahlul mayyit) dan sebagaimana untuk diketahui
walaupun selain tetangga. Frasa (siang dan malam mereka) yakni siang dan
malam walaupun diakhirkan darinya. Syaikhuna ar-Ramli berkata :
diantara bid’ah munkarah yang makruh mengerjakannya, sebagaimana didalam
ar-Raudlah yaitu apa yang manusia melakukannya seperti yang dinamakan
kaffarah, menghidangkan makanan untuk berkumpulnya manusia padanya
sebelum atau setelah kematian, dan menyembelih diatas kubur bahkan semua
itu haram jika berasal dari harta yang terlarang walaupun dari harta
peninggalan, atau dari harta mayyit yang masih memiliki tanggungan
hutang, menyebabkan dlalar atau seumpamanya. Wallahu A’lam [2].
Hasyiyah ‘Umairah
Frasa matan (dan bagi tetangga ahlul mayyit) adalah ‘athaf kepada
“an yaqifa” [3]
Faidah dari kutipan diatas :
1. Hendaknya bagi umat Islam menyiapkan makanan untuk keluarga ahlul
mayyit dan memaksa mereka untuk makan untuk menjaga kondisi (kesehatan)
mereka, sebab dalam suasana yang demikian keluarga almarhum biasanya
kehilangan selera makan, dan ini hukumnya sunnah. Kita patut bersyukur
karena amalan sunnah semacam ini telah menjadi kebiasaan masyarakat
Islam, dimana biasanya umat Islam baik tetangga maupun kerabatnya yang
jauh datang dengan membawa makanan dan mereka mengurusi keluarga
almarhum/mah.
2. Tidak boleh menyiapkan makanan untuk wanita yang meratap (niyahah),
hukumnya haram dan niyahah sendiri juga haram. Niyahah adalah
berteriak-berteriak menangis disertai menyebut-nyebut kebaikan mayyit,
sambil menampar-nampar pipi dan menyobek-nyobek saku baju.
3. Keluaga mayyit (keluarga Almarhum/Almarhumah) tidak perlu mengurusi
makan untuk perkumpulan manusia, sebab ini makruh. Penetapan hukum
makruh ini karena fokus terhadap illat yang berhubungan dengan keadaan
keluarga mayyit pada saat itu yaitu dikhawatirkan akan menambah
kesibukan mereka (membuat mereka repot), menambah kesedihan serta
membebani mereka. Hukum makruh ini menjadi mubah jika adanya hajat dari
ahlul mayyit. Adapun jika bermaksud (diniatkan) menshadaqahkan harta
mereka yang pahalanya untuk mayyit maka ini sunnah, dan pahalanya sampai
serta bermanfaat untuk mayyit. Jika memaksudkan demikian, maka nampak
bahwa keluarga mayyit tidak merasa sibuk dan terbebani, sebab shadaqah
yang mereka keluarkan atas dasar keikhlasan dan tekad mereka sendiri
demi anggota keluarganya yang meninggal. Apabila dimaksudkan untuk
menghormati tamu –biasanya sekedarnya saja- maka itu mubah. Sedangkan
makanan yang dihidangkan adalah halal, dan hendaknya dimakan.
4. Tidak Semua Bid’ah Dihukumi Haram
Walaupun diatas Imam ar-Ramli mengatakan bid’ah namun beliau menghukumi
makruh (-awas, jangan dikaburkan dengan memaknai secara lughah yakni
“dibenci”, sebab ini sama sama saja mengkaburkan status hukum-).
Artinya, tidak semua bid’ah jatuh pada status hukum haram. Ini karena
bid’ah sendiri itu bukan status hukum. Bid’ah adalah sebuah istilah
untuk menyebut suatu perkara baru bukan berasal dari Nabi, dan belum
ditetapkan status hukumnya. Untuk menetapkan status hukumnya harus
melalui pengkajian dan berdasarkan kaidah-kaidah syariat dalam menetap
hukum. Status hukum dalam Islam ada 5 yaitu : (1). Wajib/Fardlu, , (2).
Sunnah/mandub/mustahab, (3). Mubah/jaiz, (4). Makruh dan (5). Haram.
Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah,
mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah
tersebut seperti yang sebagian orang jahil lakukan, melainkan mereka
(ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut,
seperti itu juga yang dilakukan oleh Imam ar-Ramli, yakni terkait
selaras atau tidaknya dengan kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya
akan terlihat/dapat disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah
tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab,
mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status
hukumnya. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan
mengatakannya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)”,
jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan
mengatakannya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)”,
jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan
mengatakannya sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)”,
jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama
akan mengatakannya sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang hukumnya
sunnah/mustahab/mandub)”, jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib
maka ulama akan mengatakannya sebagai “bid’ah wajibah (bid’ah yang
hukumnya wajib)”. Oleh karena itu, tidak semua bid’ah itu terkategori
sesat dan dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu
status hukumnya. Contoh-contoh semacam ungkapan diatas begitu banyak
dikitab-kitab Ulama
5. Imam ar-Ramli dan Tahlilan
Imam ar-Ramli sebagaimana disebutkan diatas bukan mempersoalkan Tahlilan
secara keseluruhan namun jamuan makan untuk berkumpulnya manusia,
karena memang adanya illat disana. Tahlilan adalah sebuah majelis kaum
Muslimin yang mendo’akan, membacakan dzikir-dzikir dan al-Qur’an untuk
mayyit. Semua ini bermanfaat dan pahalanya sampai bagi mayyit. Sedangkan
apa yang kadang ada hidangan dalam Tahlilan itu bukan tujuan tahlilan,
walaupun kadang ada pada kegiatan Tahlilan, namun itu sebagai shadaqah
ahlul mayyit yang pahalanya untuk keluarganya yang meninggal. Sedangkan
shadaqah itu sunnah. Seandainya tidak ada pun itu tidak masalah.
Hidangan yang biasa diberikan ala kadarnya ini boleh. Imam ar-Ramli
jelas-jelas mengatakan untuk berkumpulnya manusia padanya sebelum atau
setelah kematian. Sedangkan tahlilan tidak dilakukan sebelum kematian.
Jadi, tidak ada kolerasinya antara sekedar berkumpul di rumah keluarga
Almarhum dengan pembacaaan do'a, dzikir-dzikir, al-Qur'an, dan yang
lainnya dalam Tahlilan.
Lebih jauh lagi, disebutkan disana adalah -الكفارة،- kaffarat
(denda/tebusan) yakni denda atau tebusan yang harus dilakukan untuk
menutupi dosa. Maka jelas ini berbeda dengan tahlilan.
Wallahu A'lam. []
Oleh : Ats-Tsauriy (Bangkalan).
Wahabiyah Mengkafirkan Umat Islam Tanpa Alasan Yang Benar
الوهابية تكفّر كل المسلمين بغير حق والحقّ أنّهم هم الكفار
قال
مفتي الحنابلة الشيخ محمد بن عبد الله بن حميد النجدي المتوفى سنة 1225 هـ
في كتابه “السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة” ص 276 عن محمد بن عبد الوهاب
:”فإنّه كان إذا باينه أحد وردَّ عليه ولم يقدر على قتله مجاهرةً يرسل
إليه من يغتاله في فراشه أو في السوق ليلاً لقوله بتكفير من خالفه
واستحلاله قتله” انتهى.
وقال
مفتي الشافعية ورئيس المدرسين في مكة أيام السلطان عبد الحميد الشيخ أحمد
زيني دحلان في كتابه “الدرر السنية في الرد على الوهابية” صحيفة 46 :”وكان
محمد بن عبد الوهاب يقول:”إني أدعوكم إلى التوحيد وترك الشرك بالله وجميع
ما هو تحت السبع الطباق مشرك على الإطلاق ومن قتل مشركًا فله الجنة” انتهى.
وكان
محمد بن عبد الوهاب وجماعته يحكمون على الناس (أي المسلمين) بالكفر
واستباحوا دماءهم وأموالهم وانتهكوا حرمة النبيّ بارتكابهم أنواع التحقير
له وكانوا يصرحون بتكفير الأمة منذ ستمائة سنة وأول من صرَّح بذلك محمد بن
عبد الوهاب وكان يقول إني أتيتكم بدين جديد. وكان يعتقد أن الإسلام منحصرٌ
فيه وفيمن تبعه وأن الناس سواهم كلهم مشركون (انظر “الدرر السنية” ص 42 وما
بعدها).
وذكر
المفتي أحمد بن زيني دحلان أيضًا في كتابه “أمراء البلد الحرام” ص 297ـ298
أن الوهابية لما دخلوا الطائف قتلوا الناس قتلاً عامًّا واستوعبوا الكبير
والصغير والمأمور والأمير والشريف والوضيع وصاروا يذبحون على صدر الأم
الطفل الرضيع ويقتلون الناس في البيوت والحوانيت ووجدوا جماعة يتدارسون
القرءان فقتلوهم عن ءاخرهم ثم خرجوا إلى المساجد يقتلون الرجل في المسجد
وهو راكع أو ساجد ونهبوا النقود والأموال وصاروا يدوسون بأقدامهم المصاحف
ونسخ البخاري ومسلم وبقية كتب الحديث والفقه والنحو بعد أن نشروها في
الأزقة والبطائح وأخذوا أموال المسلمين واقتسموها كما تقسم غنائم الكفار.
وقال
أحمد بن زيني دحلان في “الدرر السنية” صحيفة 57 :”قال السيّد الشيخ علوي
ابن أحمد بن حسن الحداد باعلوي في كتابه “جلاء الظلام في الرد على النجدي
الذي أضلّ العوام”: والحاصل أن المحقق عندنا من أقواله وأفعاله (أي محمد بن
عبد الوهاب) ما يوجب خروجه عن القواعد الإسلامية باستحلاله أمورًا مجمعًا
على تحريمها معلومة من الدين بالضرورة مع تنقيصه الأنبياء والمرسلين
والأولياء والصالحين، وتنقيصهم كفرٌ بإجماع الأئمة الأربعة” انتهى من كلام
أحمد بن زيني دحلان.
فبان
واتضح أن محمد بن عبد الوهاب هو وأتباعه جاؤوا بدين جديد ليس هو الإسلام،
وكان يقول من دخل في دعوتنا فله ما لنا وعليه ما علينا ومن لم يدخل معنا
فهو كافر حلال الدم والمال.
(Diambil dari kitab فضائح الوهابية Syaikh Fathi Al-Mishri Al-Azhari)
Seorang
mufti madzhab Hanbali Syaikh Muhammaad bin Abdullah bin Humaid an-Najdi
(w.1225 H) dalam kitabnya al-Suhubu al-Wabilah ‘ala Dhara-ih
al-Hanabilah berkata tentang Muhammad bin Abdul Wahhab: “Sesungguhnya
dia (Muhammad bin Abdul Wahhab) apabila berselisih dengan seseorang dan
tidak bisa membunuhnya terang-terangan maka ia mengutus seseorang untuk
membunuhnya ketika dia tidur atau ketika ia berada di pasar pada malam
hari. Ini semua dia lakukan karena ia mengkafirkan orang yang
menentangnya dan halal untuk dibunuh.” (Muhammad al-Najdi, al-Suhubu
al-Wabilah ‘ala Dhara-ih al-Hanabilah, Maktabah al-Imam Ahmad, hal.
276).
Mufti
madzhab Syafi’i dan kepala dewan pengajar di Makkah pada masa Sultan
Abdul Hamid Syekh Ahmad Zaini Dahlan mengatakan bahwa Muhammad ibn Abdul
Wahhab pernah mengatakan: “Sesungguhnya aku mengajak kalian pada tauhid
dan meninggalkan syirik pada Allah, semua orang yang berada dibawah
langit yang tujuh seluruhnya musyrik secara mutlak sedangkan orang yang
membunuh seorang musyrik maka ia akan mendapatkan surga”. (Ahmad Zaini Dahlan, al-Duraru al-Sunniyah fi al-Raddi ’ala al-Wahhabiyah, Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, hal 46).
Itulah pernyataan Muhammad ibn Abdul Wahhab dan kelompoknya yang telah
menghukumi umat Islam dengan kekufuran, menghalalkan darah dan harta
mereka serta mencabik-cabik kemuliaan nabi dengan melakukan
bermacam-macam bentuk penghinaan terhadapnya. Mereka juga
terang-terangan mengkafirkan umat sejak 600 tahun, dan orang yang
pertama kali terang-terangan dengan hal itu adalah Muhammad ibn Abdul
Wahhab, ia mengatakan: “Aku telah datang kepada kalian dengan agama yang
baru”. Ia meyakini bahwa Islam hanya ada pada dia dan orang-orang yang
mengikutinya dan bahwa manusia selain mereka seluruhnya adalah musyrik.
Mufti
Ahmad Zaini Dahlan juga menuturkan dalam kitabnya Umara-u al Balad al
Haram bahwa orang-orang Wahabi ketika memasuki Thaif mereka melakukan
pembantaian massal terhadap masyarakat dalam rumah-rumah mereka, mereka
juga membantai orang-orang tua dan anak-anak, rakyat dan pejabat, orang
mulia dan yang hina. Mereka menyembelih bayi yang sedang menyusu di
depan ibunya. Mereka juga membunuh manusia di rumah-rumah dan di
toko-toko dan ketika mereka menemukan sekelompok orang yang sedang
belajar al-Qur’an, mereka membunuh semuanya. Kemudian mereka masuk ke
mesjid-mesjid dan membunuh siapapun yang berada di dalam mesjid yang
sedang ruku’ atau sujud dan merampas uang dan hartanya. Kemudian mereka
menginjak-injak mushaf, naskah kitab al Bukhari dan Muslim dan
kitab-kitab hadits, fikih dan nahwu setelah mereka membuangnya di
lorong-lorong jalan dan parit-parit serta mengambil harta umat Islam dan
membagikannya sesama mereka layaknya membagi harta rampasan (ghanimah)
orang kafir. (Ahmad Zaini Dahlan, Umara al-Balad al-Haram, hal. 297-298.
Ahmad
Zaini Dahlan mengatakan: “Sayyid Syekh Alawi ibn Ahmad ibn Hasan al
Haddad Ba’alawi dalam kitabnya Jala-u al Dhalam fi al Raddi ‘ala al
Najdi al Ladzi Adhalla al ‘Awam mengatakan: Kesimpulannya bagi orang
yang mencermati perkataan dan prilaku Muhammad ibn Abdul Wahhab akan
mengatakan bahwa ia (Muhammad ibn Abdul Wahhab) telah menyalahi
kaidah-kaidah Islam karena ia menghalalkan perkara-perkara yang
disepakati akan keharamannya dan status haram tersebut telah diketahui
dalam agama oleh semua umat baik yang alim ataupun yang bodoh sekalipun.
Juga pelecehannya terhadap para nabi dan rasul, para wali dan
orang-orang yang shalih. Pelecehan seperti ini adalah kekufuran dengan
ijma’ para imam yang empat. Demikian pemaparan Ahmad Zaini Dahlan. (Lihat al-Durar al-Sunniyah fi al-Raddi ’ala al-Wahhabiyah hal. 57)
Dengan
demikian menjadi jelas bahwa Muhammad ibn Abdul Wahhab dan para
pengikutnya datang dengan membawa agama baru dan bukan membawa agama
Islam. Dia pernah mengatakan: “Barang siapa yang masuk dalam dakwah kita
maka baginya hak sebagaimana hak kita dan barang siapa yang tidak masuk
dalam dakwah kita maka dia kafir halal darah dan hartanya.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Kasyfu al-Syubuhat, Saudi Arabia: Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, hal. 7).
Sumber: http://www.sarkub.com/2012/wahabiyah-mengkafirkan-umat-islam-tanpa-alasan-yang-benar/
Perayaan “Maulid” Muhammad bin ABDUL WAHHAB
الحمدلله رب العالمين, مكون الأكوان, مدبر الأزمان, الموجود أزلا وأبدا بلاكيف ولاجهة ولامكان , والصلاة والسلام على محمد سيد الأنبياء والمرسلين, وعلى ءاله الطاهرين وصحابته الطيبين, اما بعد
Selama ini kaum SAWAH (Salafy Wahabi)
cuma bisa meributkan dan mempermasalahkan Maulid Nabi Muhammad SAW yang
dilakukan oleh sebagian besar Umat Muslimin Ahlus Sunnah Waljamaah di
seluruh dunia. Perdebatan ini sampai menimbulkan pertentangan
dikarenakan kaum SAWAH yang tetap ngeyel dengan pendiriannya untuk
Membid’ahkan dan Menganggap Sesat orang yang merayakan Maulid Nabi
Muhammad SAW. Na’udzubillahi Min Dzalik.
Tak dipungkiri lagi, asal pemahaman
Wahabi (yang kini terkenal dengan faham Salafy) tak bisa lepas dari
Tokoh siapa lagi kalau bukan Muhammad Ibn Abdul Wahhab An-Najedi. Faham
Wahabi yang “berkembang biak” di Saudi kini juga telah menjalar hampir
di seluruh wilayah Indonesia. Mereka bersemangat dengan slogan-nya,
Menegakkan Al-Qur’an dan Sunnah, Kembali ke Manhaj Salaf, Tinggalkan TBC
(Takhayul Bid’ah Khurafat).
Tapi tahukah anda? Para Ulama Wahabi
Saudi juga melakukan Bid’ah yang sungguh-sungguh nyata Bid’ah! Mereka
tak merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW tapi merayakan Pekan Muhammad Ibn
Abdul Wahhab! Macam mana Pula ini? ^_^

Program ini diadakan di Riyadh, Saudi
Arabia di bawah kelolaan University Islam (ala za’mihi) Muhammad Ibn
Sa’ud Al-Islamiyah. Program yang berslogankan perayaan menyambut ” Pekan
Muhammad Abdul Wahhab” ini diadakan selama seminggu bertujuan
mengagungkan Muhammad Abdul Wahhab yang digelari sebagai Mujaddid oleh
mereka. Golongan al-Wahhabiyah di Saudi ini mengundang sebanyak 150
peserta dari Saudi sendiri dan Luar Saudi.
Perayaan tersebut di resmikan oleh Amir Sulaiman Bin Abdul Aziz, Pemimpin di bumi Riyadh, perayaan yang meriah itu dihadiri oleh penduduk dari berbagai daerah, diantaranya pengajar-pengajar khusus kerajaan saudi, tenaga pengajar di universitas, dan tidak lupa juga mereka menjaring hadirin dari kalangan pelajar-pelajar. Para peserta yang hadir diberikan upah atau sumbangan karana memuji dan mengagungkan Muhammad Abdul Wahhab. Amat miris sekali mereka dibeli dengan harga yang murah, sehingga sanggup menggadaikan agama tercinta kepada rezim Al-wahhabiyah. Muktamar besar-besaran ini di adakan di dalam dewan besar Malik Faishal. Majelis ini dimeriahkan juga dengan kehadiran “Mufti wahhabiyah”, Abdul Aziz Bin Baz, yang merangkap sebagai ketua Am bagi Pejabat Al-Buhuts Al-Ilmiyyah Wal-ifta’ wad-dakwah wal-irsyad (ala-za’mihim) yang diiringi oleh Hasan Bin Abdullah Ali Syeikh, Menteri Pengajian Tinggi..
Para pembentang pada Program tersebut :
1.Ahmad Bin Abdul Aziz Ali Mubarak
2.At-Thuhami Naqirah
3.Muhammad bin Ahmad Al-’Aqily
4.Abdul Hafidz Abd ‘al
5.Yusuf Jasim Al-Hajjy
6.Ahmad Zubarah
7.Mahmud Syit Khattab
8.Amid Al-Jasir
9.Abdullah Utsaimin
10.Ismail Muhammad Al-Anshoriy
11.Muhamad Yusuf
12.Mana’ Khalil al-Qatthan
13.Soleh Bin Abdul Rahman Al-Athram
14.Abdullah Bin Saad Ar-Ruwaishid
15.Syiajuddin KakalKhail
16.Abdullah Abdul Majid
17.Al-Ghazali Khalil ‘Aid
18.Ali Abdul Halim Mahmud
19.Ahmad Abduh Nasyir
20.Muhammad Fathi Othman
21.Abdul Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman
22.Muhammad Yusuf
23.Abdul Rahman Umairah
24.Abdul Karim Khatib
25.Muhammad Nasib Al-rifa’iy
26.Muhammad Muhammad Husain
27.Muhammad Abdul Rahman.
28.Soleh Auzjany
29.Abdul Bari Abdul Baqiy
30.Muhammad Salam Madkur
31.Abdul Fattah Muqallidil Ghunaimiy
32.Wahbah Zuhaily
33.Ismail Ahmad
34.Anwarul Jundiy
35.Abdul Halim Uwais
36.’Athiah Muhammad Salim
37.Mushtofa Muhammad Mas’ud
38.Muhammad Al-Sa’iid Jamaluddin
39.Najih ahyad Abdullah
40.Abdul Qudwas Al-Anshory


Kesimpulan :
Kata Wahabi : Cinta kepada Rasulullah Sollahu ‘alaihi Wassallam tidak boleh, Mengagungkan Nabi Muhammad Sollallahu ‘Alaihi Wasallam tidak boleh, Ikut Imam Syafie tidak boleh, Ikut Imam 4 mazdhab tidak boleh, Menyambut Maulidurrasul dianggap bid’ah, ditambah lagi pelakunya layak dimasukkan ke dalam neraka, tetapi kalau merayakan Pekan Muhammad Abdul Wahhab?…. tidak bida’ah!. Mencintai dan mengagungkan Muhammad Abdul Wahhab?.. tidak Bid’ah, taklid & ta’asub kepada Muhammad Abdul wahhab?….tidak bid’ah.. Na’udzubillahi min dzalik!.
Kata Wahabi : Cinta kepada Rasulullah Sollahu ‘alaihi Wassallam tidak boleh, Mengagungkan Nabi Muhammad Sollallahu ‘Alaihi Wasallam tidak boleh, Ikut Imam Syafie tidak boleh, Ikut Imam 4 mazdhab tidak boleh, Menyambut Maulidurrasul dianggap bid’ah, ditambah lagi pelakunya layak dimasukkan ke dalam neraka, tetapi kalau merayakan Pekan Muhammad Abdul Wahhab?…. tidak bida’ah!. Mencintai dan mengagungkan Muhammad Abdul Wahhab?.. tidak Bid’ah, taklid & ta’asub kepada Muhammad Abdul wahhab?….tidak bid’ah.. Na’udzubillahi min dzalik!.
Sebenarnya golongan WAHABI ini tidak
mencintai Nabi Muhammad SAW, bahkan wahhabiyah ini membenci habibuna
Mushtofa Muhammad Sollallahu ‘Alaihi Wasalllam…
AKU BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN AKU BERSAKSI BAHWA MUHAMMAD SAW ITU UTUSAN ALLAH.
MUHAMMAD SAW BIN ABDULLAH ADALAH NABIKU, BUKAN MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB. (AWAS JANGAN SALAH!!!!!)
Wallahua’lam
SUMBER:
http://www.sarkub.com/2011/perayaan-maulid-muhammad-bin-abdul-wahhab/#comment-1692
http://www.facebook.com/note.php?note_id=356548310134Seputar Budaya Haul, Khataman, Selamatan dan Tahlil
Ø Pengertian Selamatan atau Haul
1. Khotmul Qur’an yaitu membaca al-Qur’an 30 juz (mulai dari juz 1 s/d juz 30).
Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal 258. menegaskan.
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.
Artinya “Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
2. Tahlilan
Ibnu Taimiyah menegaskan masalah tahlil dengan keterangannya sebagai berikut :
اِذَا هَلَّلَ اْلاِنْسَانُ هٰكَذَا : سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْاَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَـفَـعَـهُ الله ُبِذٰلِكَ
Artinya : Jika seseorang membaca tahlil sebanyak 70.000 kali, kurang atau lebih dan (pahalanya) dihadiahkan kepada mayit, maka Allah memberikan manfaat dengan semua itu. Fatawa XXIV/323
3. Doa yang dihadiahkan kepada mayit.
Syekh Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa ulama’ telah sepakat mengenai doa dan memohonkan ampunan untuk mayit sebagaimana dalil di bawah ini :
اَلدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـغْـفَارُ وَهٰذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ لِقَوْلِ اللهِ تَعَالىَ ( وَالَّذِيْنَ جَائُوْ مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْ لَناَ وَِلأِخْوَانِناَ الَّذِيْنَ سَبَقُوْناَ بِاْلاِيْمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِناَ غِلاَّ ِللَّذِيْنَ أَمَنُوْ رَبَّنَا اِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ) وَتَقَدَّمَ قَوْلُ الرَّسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( وَاِذاَصَلَّيْتُمْ عَلىَ اْلمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْالَهُ اَلدُّعَاءَ ) وَحُفِظَ مِنْ دُعَاءِ رَسُوْلِ الله ِصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( اَللَّهُمَّ اْغفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّـتِـنَا ) وَلاَزَالَ اَلسَّلَفُ وَالْخَلَفُ يَدْعُوْنَ لِْلأَمْوَاتِ وَيَسْأَلُوْنَ لَهُمْ اَلرَّحْمَةُ وَاْلغُفْرَانُ دُوْنَ اِنْكَارٍ مِنْ اَحَدٍ .
Artinya : Do’a dan memohonkan ampun untuk mayit, pendapat ini telah menjadi kesepakatan ulama’, hal ini berdasarkan firman Allah (Dan orang-orang yang datang setelah mereka *muhajirin dan anshar* berdoa : Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman, dan jangan engkau jadikan hati kami “mempunyai sifat” dengki kepada orang-orang yang beriman, Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha penyantun dan Maha penyayang) QS. AL-HASYR AYAT 10. Dan telah disebutkan sebelumnya sabda Rasul Allah saw. Jika kamu menyalati mayid, maka ikhlaslah dalam berdoa. Dan juga doa Rasulullah saw. Ya Allah ampunilah orang-orang yang hidup dan yang mati kami (umat Nabi). Ulama’ salaf dan kholaf selalu mendoakan orang-orang mati dan mereka memohonkan kepadanya rahmat dan ampunan, tanpa seorang pun mengingkarinya.
4.Pengajian umum yang kadang dirangkai dengan pembacaan secara singkat sejarah orang yang dihauli, yang mencakup nasab, tanggal lahir dan wafat, jasa-jasa, serta keistimewaan yang patut diteladani.
5.Sedekah, diberikan kepada orang-orang yang berpartisipasi pada acara selametan, atau diserahkan langsung ke rumah masing-masing (ater-ater) Hal ini berdasarkan kepada perintah Nabi yang berbunyi:
وَقاَلَ عَلَيْهِ الصَّلاَة ُوَالسَّلاَم ُ: ( تَصَدَّقوُاْ عَنْ اَنـْفُـسِكُمْ وَعَنْ مَوْتاَكُمْ وَلَوْ بِشُرْبـَةِ مَاءٍ فَـاِنْ لَمْ تَـقْدِرُوْا عَلَى ذٰلِكَ فَـبِـاَيَةٍ مِنْ كِتاَبِ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَعْلَمُوْاشَـيْـأً مِنْ كِتاَبِ اللهِ فَادْعُوْابِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ فَقَدْ وَعَدَ كُمْ بِاْلاِجَابَةِ )
Rasulullah saw. bersabda : bersedekahlah kamu sekalian untuk dirimu sendiri dan untuk ahli quburmu walau hanya dengan seteguk air, jika kamu sekalian tidak mampu bersedekah dengan seteguk air maka bersedekahlah dengan satu ayat dari kitab Allah, jika kamu tidak mengetahui/tidak mengerti sesuatu dari kitab Allah, maka berdoalah dengan memohon ampunan dan mengharap rahmat Allah, maka sesungguhnya Allah telah berjanji akan mengabulkan. (Di terangkan dalam kitab Durro an-Nasikhin, halaman 95).
اَلصَّـدَقَةُ : وَقَدْ حَكىَ اَلنَّوَوِىُّ اَلاِجْمَاعَ عَلىَ اَنَّهَا تَقَعُ عَنِ اْلمَيِّتِ وَيَصِلُهُ ثَوَبُهَا سَوَاءٌ كَانَتْ مِنْ وَلَدٍ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ . لِـمَا رَوَاهُ اَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُمَا عَنْ اَبِـىْ هُرَيْرَةَ : اِنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّـبِىْ : اِنَّ أَبِـيْ مَاتَ وَتَرَكَ مَـالاً وَلَمْ يُوْصِ فَهَلْ يُكَفِّـْر عَنْهُ اَنْ اَتـَصَدَّقَ عَنْهُ ؟ قَالَ النَّـِبىْ , نَـعَـمْ .
Imam Nawawi menceritakan, bahwa Sedekah (shodaqoh) itu dapat diambil manfaatnya oleh mayit dan pahalanya pun sampai kepadanya, baik sedekah dari anaknya (keluarga) maupun selain anak (orang lain), dan ini sudah menjadi kesepakatan ulama’, karena hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim dan lainnya. Dari Abi hurairah ra. : seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. : Bapak saya telah meninggal, dia meninggalkan harta dan tidak meninggalkan wasiat. Apakah dapat menebus dosanya jika aku bersedekah sebagai gantinya?. Nabi menjawab : Ya, bisa. Keterangan Dalam kitab Peringatan Haul hal. 23-26.
Ø Dalil Haul
Dalil mengenai haul adalah berdasarkan hadits yang menerangkan bahwa junjungan kita Sayyidina Muhammad saw. Telah melakukan ziarah kubur pada setiap tahun yang kemudian diikuti oleh sahabat Abu Bakar, Umar dan utsman. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dari al-Waqidy.
عَنِ اْلوَاقِدِى قَالَ : كَانَ النَّبِـىُّ يَـزُوْرُ شُهَدَاءَ اُحُدٍ فِيْ كُلِّ حَوْلٍ وَاِذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتـَهُ فَيَقُوْلُ : سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ ِبـمَا صَبَرْتـُمْ فَـنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ . ثُمَّ اَبُوْ بَكْرٍ يَـفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ .رواه البيهقى .
Artinya: al-Waqidy berkata “Nabi Muhammad saw. berziarah ke makam syuhada’ uhud pada setiap tahun, apabila telah sampai di makam syuhada’ uhud beliau mengeraskan suaranya seraya berdoa : keselamatan bagimu wahai ahli uhud dengan kesabaran-kesabaran yang telah kalian perbuat, inilah sebaik-baik rumah peristirahatan. Kemudian Abu Bakar pun melakukannya pada setiap tahun begitu juga Umar dan Utsman.
Diterangkan dalam kitab Ittihaf al-Sadah al-Muttaqin juz XIV hal.271, kitab Mukhtashor Ibnu Katsir juz 2 hal.279, dan dalam kitab Raddu al-Mukhtar ‘ala al-durri al-Mukhtar juz 1 hal 604.
Ø Hukum Selametan 1-7, 40, 100 hari dan Haul
Mengenahi hukum haul dan selamatan ulama’ berbeda pendapat, tetapi mayoritas ulama’ dari empat madzhab berpendapat bahwa pahala ibadah atau amal shaleh (selametan) yang dilakukan oleh orang yang masih hidup bisa sampai kepada orang yang sudah mati (mayit). Namun di sini akan kami paparkan seputar khilaf para ulama mengenai hal ini (yang membolehkannya dan yang tidak memperbolehkannya) Adapun berbagai pendapat ulama’ madzhab beserta dalil-dalilnya akan kami terangkan di bawah ini;
A. Pendapat sahih yang memperbolehkan
1. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam Taqiyuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Abd. Halim (yang lebih populer dengan julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari madzhab hambali) dalam kitab Majmu’ Fatawa : XXIV/314-315, menjelaskan sebagai berikut ini:
اَمَّا الصَّدَقَةُ عَنِ الْمَيِّتِ فَـِانَّهُ يَنْـتَـفِعُ بِهَا بِاتِّـفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ . وَقَدْ وَرَدَتْ بِذٰلِكَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَحَا دِيْثُ صَحِيْحَةٌ مِثْلُ قَوْلِ سَعْدٍ ( يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِّيْ اُفْتـُلِتـَتْ نَفْسُهَا وَاَرَاهَا لَوْ تَـكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ يَنْـفَـعُهَا اَنْ اَتَـصَدَّقَ عَنْهَا ؟ فَقَالَ : نَـعَمْ , وَكَذٰلِكَ يَـنْـفَـعُهُ اَلْحَجُّ عَنْهُ وَاْلاُ ضْحِيَةُ عَنْهُ وَالْعِتْقُ عَنْهُ وَالدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـْغفَارُ لَهُ بِلاَ نِزاَعٍ بَيْنَ اْلأَئِمَّةِ .
Artinya : Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi saw, seperti kata sa’at “Ya Rasul Allah, sesungguhnya ibuku wafat, dan aku berpendapat jika ia masih hidup pasti bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya ?” maka beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit : haji, qurban, memerdekakan budak, doa dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam.
Dan lebih spesifik lagi beliau menjelaskan dalam hal sampainya hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada mayit dalam kitab Fatawa : XXIV/322 sebagai berikut ini
فَاِذَا اُهْدِيَ لِمَيِّتٍ ثَوَابُ صِياَمٍ اَوْ صَلاَةٍ اَوْ قِرَئَةٍ جَازَ ذَلِكَ
Artinya : “jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-qur’an/kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”.
2.Menurut Imam Nawawi
Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin ibn as-Syaraf, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal 258. menegaskan.
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.
“Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayat, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
Selain paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini
وَيُـسْـتَحَبُّ لِلزَّائِرِ اَنْ يُسَلِّمَ عَلىَ اْلمَقَابِرِ وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ اَهْلِ اْلمَقْبَرَةِ. وَاْلاَفْضَلُ اَنْ يَكُوْنَ اَلسَّلاَمُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبـَتَ مِنَ اْلحَدِيْثِ وَيُسْـتَـحَبُّ اَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْأَنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ لَهُمْ عَقِبَهَا وَنَصَّ عَلَيْهِ اَلشَّاِفعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ . المجموع : 5 – 282.
“Dan disunahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendoakan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan doa itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan/ajarkan dari Nabi Muhammad saw., dan disunahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdoa untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-umm) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya.
3.Menurut Imam Ibnu Qudamah
Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hanbali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab karyanya al-Mughny juz 2 hal. 566.
قَالَ : وَلاَ بَأْسَ بِالْقِرَائَـةِ عِنْدَ اْلقَبْرِ . وَقَدْ رُوِيَ عَنْ اَحْمَدَ اَنَّـهُ قَالَ : اِذاَ دَخَلْتمُ ْالَـْمَقَابِرَ اِقْرَئُوْا اَيـَةَ اْلكُـْرسِ ثَلاَثَ مِرَارٍ وَقُلْ هُوَ الله ُاَحَدٌ ثُمَّ قُلْ اَللَّهُمَّ اِنَّ فَضْلَهُ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ .
Artinya “al-Imam ibn Qudamah berkata : tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanbal bahwasannya beliau berkata : jika hendak masuk kuburan/makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan doa : Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.
4.Menurut Fuqoha’ Ahlussunnah Wal Jama’ah
Menurut jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah seperti yang telah diterangkan oleh al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu Hurairah ra.
وَعَنْ اَبِـى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىالله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ اَلْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأ َفَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ هُوَالله ُاَحَدٌ , وَاَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرْ , ثُمَّ قَالَ : اِنـِّى جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ اْلـَمقَابِرَ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كَانُوْ شُفَعَاءَ لَهُ اِلَى اللهِ تَعَالىَ .
Artinya: Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw bersabda “barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allah Akhad, dan al-Hakumuttakatsur, kemudian berdoa “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur dari orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan” maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah swt”.
B. Pendapat yang tidak Memperbolehkan
1.Pendapat Ulama’ Madzab Syafi’i
Pendapat masyhur dari golongan madzhab Syafi’i bahwa pahala membaca al-Qur’an tidak bisa sampai pada mayit, hal ini diterangkan dalam kitab al-Adzkar hal 150.
وَاخْتَلَفَ اْلعُلَمَاءُ فِيْ وُصُوْلِ ثَوَابَ قِرَائَـةِ اْلقُرْأَنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّفِعِى وَجَمَاعَةٌ اَنَّهُ لاَيَصِلُ . وَذَهَبَ اَحْمَدُ اْبنُ حَنْبَلٍ وَجَمَاعَةٌ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَجَمَاعَةٌ مِنَ اَصْحَابِ الشَّاِفـِعى اِلىَ اَنـَّهُ يَـصِلُ . فَاْلاِ خْتِـيَارُ اَنْ يَـقُوْلُ اَلْقَارِئُ بَعْدَ فِرَاغِهِ : اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ . وَالله ُاَعْلَمُ
Artinya : Ulama’ berbeda pendapat dalam masalah sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit, maka menurut pendapat yang masyhur dari madzhab syafi’i dan golongan ulama’ menyatakan tidak bisa sampai kepada mayit, sedang Imam Ahmad bin Hanbal dan golongan ulama’ dan sebagian dari sahabat Syafi’i menyatakan sampai kepada mayit.
Dan menurut pendapat yang terpilih: hendaknya orang yang membaca al-Qur’an setelah selesai untuk mengiringi bacaannya dengan doa : اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ (Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan al-Qur’an yang telah aku baca kepada si fulan *mayit*)
2.Menurut pendapat Madzhab Imam Malik
Menurut pendapat ulama’ pengikut madzhab Maliki bahwasanya pahala puasa, shalat sunnah dan bacaan al-Qur’an adalah tidak bisa sampai kepada mayit. Keterangan kitab Majmu’ Fatawa juz XXIV hal.314-315,
وَاَمَّاالصِّـيَامُ عَنْهُ وَصَلاَةُ التَّطَوُعِ عَنْهُ وَقِرَائَةُ اْلقُرْأَنِ عَنْهُ فَهٰذَا قَوْلاَنِ لِلْعُلَمَاءِ : اَحَدُهُمَا : يَـنْـتَـفِعُ بِهِ وَهُوَ مَذْهَبُ اَحْمَدَ وَأَبِىْ حَنِيْفَةَ وَغَيْرِهِمَا وَبَعْضُ اَصْحَابِ الشَّافِعِى وَغَيْرِهِمْ وَالثَّانِىْ : لاَتَصِلُ اِلَيْـهِ وَهُوَ اَلْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِى
Artinya : Adapun puasa, shalat sunnah, membaca al-Qur’an ada dua pendapat :
-Mayit bisa mengambil manfaat dengannya, pendapat ini menurut Imam Ahmad, Abu Hanifah dan sebagian sahabat Syafi’i yang lain
-Tidak sampai kepada mayit, menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik dan syafi’i.
Demikianlah beberapa pendapat ulama’ mengenai hukum selametan 1-7/40/100 hari/haul. Meskipun pendapatnya berbeda-beda mereka pun (para ulama’) saling menghargai dan menghormati perbedaan tersebut dan kesemuanya itu masing-masing memiliki tendensi atau dasar sendiri-sendiri.
Oleh karena itu marilah kita selalu berusaha meningkatkan profesionalisme kita, belajar bersikap lebih dewasa, dalam menyikapi setiap perbedaan kita harus saling menghargai dan menghormati, karena suatu perbedaan adalah rahmah bagi kita semuanya kalau kita pandai mengambil hikmah darinya, dalam kitab Hasiyah al-Bujairomi juz 9 hal 71. dijelaskan Perbedaan Ulama’ itu Adalah Rahmat
اِ خْـتِـلاَ فُ اْلـعُـلـَمـَاءِ رَحْـمَـةٌ
Dan ingatlah contoh tentang perbedaan pendapat yang langsung diberikan oleh pemilik jagat raya ini, lihat al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 60 s/d 82 juz 16 (kisah perbedaan pendapat antara Nabi Musa dengan Nabi khidzir), oleh karena itu marilah kita selalu menjunjung tinggi sikap saling menghargai dan menghormati, dari situlah akan tercipta kehidupan harmoni dan perdamaian yang bersifat abadi. Amin.
Sumber:
http://santribuntet.wordpress.com/2010/07/17/seputar-budaya-haul-khataman-selamatan-dan-tahlil/
Haul berasal dari bahasa arab : berarti
telah lewat atau berarti tahun. masyarakat Jawa menyebutnya
(khol/selametane wong mati) yaitu : suatu upacara ritual keagamaan untuk
memperingati meninggalnya seorang yang ditokohkan dari para wali,
ulama’, kyai atau salah satu dari anggota keluarga.
Ø Rangkaian Acara Selametan atau Haul1. Khotmul Qur’an yaitu membaca al-Qur’an 30 juz (mulai dari juz 1 s/d juz 30).
Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal 258. menegaskan.
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.
Artinya “Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
2. Tahlilan
Ibnu Taimiyah menegaskan masalah tahlil dengan keterangannya sebagai berikut :
اِذَا هَلَّلَ اْلاِنْسَانُ هٰكَذَا : سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْاَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَـفَـعَـهُ الله ُبِذٰلِكَ
Artinya : Jika seseorang membaca tahlil sebanyak 70.000 kali, kurang atau lebih dan (pahalanya) dihadiahkan kepada mayit, maka Allah memberikan manfaat dengan semua itu. Fatawa XXIV/323
3. Doa yang dihadiahkan kepada mayit.
Syekh Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa ulama’ telah sepakat mengenai doa dan memohonkan ampunan untuk mayit sebagaimana dalil di bawah ini :
اَلدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـغْـفَارُ وَهٰذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ لِقَوْلِ اللهِ تَعَالىَ ( وَالَّذِيْنَ جَائُوْ مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْ لَناَ وَِلأِخْوَانِناَ الَّذِيْنَ سَبَقُوْناَ بِاْلاِيْمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِناَ غِلاَّ ِللَّذِيْنَ أَمَنُوْ رَبَّنَا اِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ) وَتَقَدَّمَ قَوْلُ الرَّسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( وَاِذاَصَلَّيْتُمْ عَلىَ اْلمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْالَهُ اَلدُّعَاءَ ) وَحُفِظَ مِنْ دُعَاءِ رَسُوْلِ الله ِصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( اَللَّهُمَّ اْغفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّـتِـنَا ) وَلاَزَالَ اَلسَّلَفُ وَالْخَلَفُ يَدْعُوْنَ لِْلأَمْوَاتِ وَيَسْأَلُوْنَ لَهُمْ اَلرَّحْمَةُ وَاْلغُفْرَانُ دُوْنَ اِنْكَارٍ مِنْ اَحَدٍ .
Artinya : Do’a dan memohonkan ampun untuk mayit, pendapat ini telah menjadi kesepakatan ulama’, hal ini berdasarkan firman Allah (Dan orang-orang yang datang setelah mereka *muhajirin dan anshar* berdoa : Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman, dan jangan engkau jadikan hati kami “mempunyai sifat” dengki kepada orang-orang yang beriman, Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha penyantun dan Maha penyayang) QS. AL-HASYR AYAT 10. Dan telah disebutkan sebelumnya sabda Rasul Allah saw. Jika kamu menyalati mayid, maka ikhlaslah dalam berdoa. Dan juga doa Rasulullah saw. Ya Allah ampunilah orang-orang yang hidup dan yang mati kami (umat Nabi). Ulama’ salaf dan kholaf selalu mendoakan orang-orang mati dan mereka memohonkan kepadanya rahmat dan ampunan, tanpa seorang pun mengingkarinya.
4.Pengajian umum yang kadang dirangkai dengan pembacaan secara singkat sejarah orang yang dihauli, yang mencakup nasab, tanggal lahir dan wafat, jasa-jasa, serta keistimewaan yang patut diteladani.
5.Sedekah, diberikan kepada orang-orang yang berpartisipasi pada acara selametan, atau diserahkan langsung ke rumah masing-masing (ater-ater) Hal ini berdasarkan kepada perintah Nabi yang berbunyi:
وَقاَلَ عَلَيْهِ الصَّلاَة ُوَالسَّلاَم ُ: ( تَصَدَّقوُاْ عَنْ اَنـْفُـسِكُمْ وَعَنْ مَوْتاَكُمْ وَلَوْ بِشُرْبـَةِ مَاءٍ فَـاِنْ لَمْ تَـقْدِرُوْا عَلَى ذٰلِكَ فَـبِـاَيَةٍ مِنْ كِتاَبِ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَعْلَمُوْاشَـيْـأً مِنْ كِتاَبِ اللهِ فَادْعُوْابِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ فَقَدْ وَعَدَ كُمْ بِاْلاِجَابَةِ )
Rasulullah saw. bersabda : bersedekahlah kamu sekalian untuk dirimu sendiri dan untuk ahli quburmu walau hanya dengan seteguk air, jika kamu sekalian tidak mampu bersedekah dengan seteguk air maka bersedekahlah dengan satu ayat dari kitab Allah, jika kamu tidak mengetahui/tidak mengerti sesuatu dari kitab Allah, maka berdoalah dengan memohon ampunan dan mengharap rahmat Allah, maka sesungguhnya Allah telah berjanji akan mengabulkan. (Di terangkan dalam kitab Durro an-Nasikhin, halaman 95).
اَلصَّـدَقَةُ : وَقَدْ حَكىَ اَلنَّوَوِىُّ اَلاِجْمَاعَ عَلىَ اَنَّهَا تَقَعُ عَنِ اْلمَيِّتِ وَيَصِلُهُ ثَوَبُهَا سَوَاءٌ كَانَتْ مِنْ وَلَدٍ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ . لِـمَا رَوَاهُ اَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُمَا عَنْ اَبِـىْ هُرَيْرَةَ : اِنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّـبِىْ : اِنَّ أَبِـيْ مَاتَ وَتَرَكَ مَـالاً وَلَمْ يُوْصِ فَهَلْ يُكَفِّـْر عَنْهُ اَنْ اَتـَصَدَّقَ عَنْهُ ؟ قَالَ النَّـِبىْ , نَـعَـمْ .
Imam Nawawi menceritakan, bahwa Sedekah (shodaqoh) itu dapat diambil manfaatnya oleh mayit dan pahalanya pun sampai kepadanya, baik sedekah dari anaknya (keluarga) maupun selain anak (orang lain), dan ini sudah menjadi kesepakatan ulama’, karena hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim dan lainnya. Dari Abi hurairah ra. : seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. : Bapak saya telah meninggal, dia meninggalkan harta dan tidak meninggalkan wasiat. Apakah dapat menebus dosanya jika aku bersedekah sebagai gantinya?. Nabi menjawab : Ya, bisa. Keterangan Dalam kitab Peringatan Haul hal. 23-26.
Ø Dalil Haul
Dalil mengenai haul adalah berdasarkan hadits yang menerangkan bahwa junjungan kita Sayyidina Muhammad saw. Telah melakukan ziarah kubur pada setiap tahun yang kemudian diikuti oleh sahabat Abu Bakar, Umar dan utsman. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dari al-Waqidy.
عَنِ اْلوَاقِدِى قَالَ : كَانَ النَّبِـىُّ يَـزُوْرُ شُهَدَاءَ اُحُدٍ فِيْ كُلِّ حَوْلٍ وَاِذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتـَهُ فَيَقُوْلُ : سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ ِبـمَا صَبَرْتـُمْ فَـنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ . ثُمَّ اَبُوْ بَكْرٍ يَـفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ .رواه البيهقى .
Artinya: al-Waqidy berkata “Nabi Muhammad saw. berziarah ke makam syuhada’ uhud pada setiap tahun, apabila telah sampai di makam syuhada’ uhud beliau mengeraskan suaranya seraya berdoa : keselamatan bagimu wahai ahli uhud dengan kesabaran-kesabaran yang telah kalian perbuat, inilah sebaik-baik rumah peristirahatan. Kemudian Abu Bakar pun melakukannya pada setiap tahun begitu juga Umar dan Utsman.
Diterangkan dalam kitab Ittihaf al-Sadah al-Muttaqin juz XIV hal.271, kitab Mukhtashor Ibnu Katsir juz 2 hal.279, dan dalam kitab Raddu al-Mukhtar ‘ala al-durri al-Mukhtar juz 1 hal 604.
Ø Hukum Selametan 1-7, 40, 100 hari dan Haul
Mengenahi hukum haul dan selamatan ulama’ berbeda pendapat, tetapi mayoritas ulama’ dari empat madzhab berpendapat bahwa pahala ibadah atau amal shaleh (selametan) yang dilakukan oleh orang yang masih hidup bisa sampai kepada orang yang sudah mati (mayit). Namun di sini akan kami paparkan seputar khilaf para ulama mengenai hal ini (yang membolehkannya dan yang tidak memperbolehkannya) Adapun berbagai pendapat ulama’ madzhab beserta dalil-dalilnya akan kami terangkan di bawah ini;
A. Pendapat sahih yang memperbolehkan
1. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam Taqiyuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Abd. Halim (yang lebih populer dengan julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari madzhab hambali) dalam kitab Majmu’ Fatawa : XXIV/314-315, menjelaskan sebagai berikut ini:
اَمَّا الصَّدَقَةُ عَنِ الْمَيِّتِ فَـِانَّهُ يَنْـتَـفِعُ بِهَا بِاتِّـفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ . وَقَدْ وَرَدَتْ بِذٰلِكَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَحَا دِيْثُ صَحِيْحَةٌ مِثْلُ قَوْلِ سَعْدٍ ( يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِّيْ اُفْتـُلِتـَتْ نَفْسُهَا وَاَرَاهَا لَوْ تَـكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ يَنْـفَـعُهَا اَنْ اَتَـصَدَّقَ عَنْهَا ؟ فَقَالَ : نَـعَمْ , وَكَذٰلِكَ يَـنْـفَـعُهُ اَلْحَجُّ عَنْهُ وَاْلاُ ضْحِيَةُ عَنْهُ وَالْعِتْقُ عَنْهُ وَالدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـْغفَارُ لَهُ بِلاَ نِزاَعٍ بَيْنَ اْلأَئِمَّةِ .
Artinya : Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi saw, seperti kata sa’at “Ya Rasul Allah, sesungguhnya ibuku wafat, dan aku berpendapat jika ia masih hidup pasti bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya ?” maka beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit : haji, qurban, memerdekakan budak, doa dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam.
Dan lebih spesifik lagi beliau menjelaskan dalam hal sampainya hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada mayit dalam kitab Fatawa : XXIV/322 sebagai berikut ini
فَاِذَا اُهْدِيَ لِمَيِّتٍ ثَوَابُ صِياَمٍ اَوْ صَلاَةٍ اَوْ قِرَئَةٍ جَازَ ذَلِكَ
Artinya : “jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-qur’an/kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”.
2.Menurut Imam Nawawi
Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin ibn as-Syaraf, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 5 hal 258. menegaskan.
يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ . نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا : يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع :5 – 258.
“Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendoakan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayat, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”.
Selain paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini
وَيُـسْـتَحَبُّ لِلزَّائِرِ اَنْ يُسَلِّمَ عَلىَ اْلمَقَابِرِ وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ اَهْلِ اْلمَقْبَرَةِ. وَاْلاَفْضَلُ اَنْ يَكُوْنَ اَلسَّلاَمُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبـَتَ مِنَ اْلحَدِيْثِ وَيُسْـتَـحَبُّ اَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْأَنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ لَهُمْ عَقِبَهَا وَنَصَّ عَلَيْهِ اَلشَّاِفعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ . المجموع : 5 – 282.
“Dan disunahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendoakan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan doa itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan/ajarkan dari Nabi Muhammad saw., dan disunahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdoa untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-umm) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya.
3.Menurut Imam Ibnu Qudamah
Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hanbali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab karyanya al-Mughny juz 2 hal. 566.
قَالَ : وَلاَ بَأْسَ بِالْقِرَائَـةِ عِنْدَ اْلقَبْرِ . وَقَدْ رُوِيَ عَنْ اَحْمَدَ اَنَّـهُ قَالَ : اِذاَ دَخَلْتمُ ْالَـْمَقَابِرَ اِقْرَئُوْا اَيـَةَ اْلكُـْرسِ ثَلاَثَ مِرَارٍ وَقُلْ هُوَ الله ُاَحَدٌ ثُمَّ قُلْ اَللَّهُمَّ اِنَّ فَضْلَهُ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ .
Artinya “al-Imam ibn Qudamah berkata : tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanbal bahwasannya beliau berkata : jika hendak masuk kuburan/makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan doa : Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.
4.Menurut Fuqoha’ Ahlussunnah Wal Jama’ah
Menurut jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah seperti yang telah diterangkan oleh al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu Hurairah ra.
وَعَنْ اَبِـى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّىالله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ اَلْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأ َفَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ هُوَالله ُاَحَدٌ , وَاَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرْ , ثُمَّ قَالَ : اِنـِّى جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ اْلـَمقَابِرَ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كَانُوْ شُفَعَاءَ لَهُ اِلَى اللهِ تَعَالىَ .
Artinya: Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw bersabda “barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allah Akhad, dan al-Hakumuttakatsur, kemudian berdoa “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur dari orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan” maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah swt”.
B. Pendapat yang tidak Memperbolehkan
1.Pendapat Ulama’ Madzab Syafi’i
Pendapat masyhur dari golongan madzhab Syafi’i bahwa pahala membaca al-Qur’an tidak bisa sampai pada mayit, hal ini diterangkan dalam kitab al-Adzkar hal 150.
وَاخْتَلَفَ اْلعُلَمَاءُ فِيْ وُصُوْلِ ثَوَابَ قِرَائَـةِ اْلقُرْأَنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّفِعِى وَجَمَاعَةٌ اَنَّهُ لاَيَصِلُ . وَذَهَبَ اَحْمَدُ اْبنُ حَنْبَلٍ وَجَمَاعَةٌ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَجَمَاعَةٌ مِنَ اَصْحَابِ الشَّاِفـِعى اِلىَ اَنـَّهُ يَـصِلُ . فَاْلاِ خْتِـيَارُ اَنْ يَـقُوْلُ اَلْقَارِئُ بَعْدَ فِرَاغِهِ : اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ . وَالله ُاَعْلَمُ
Artinya : Ulama’ berbeda pendapat dalam masalah sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit, maka menurut pendapat yang masyhur dari madzhab syafi’i dan golongan ulama’ menyatakan tidak bisa sampai kepada mayit, sedang Imam Ahmad bin Hanbal dan golongan ulama’ dan sebagian dari sahabat Syafi’i menyatakan sampai kepada mayit.
Dan menurut pendapat yang terpilih: hendaknya orang yang membaca al-Qur’an setelah selesai untuk mengiringi bacaannya dengan doa : اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ (Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan al-Qur’an yang telah aku baca kepada si fulan *mayit*)
2.Menurut pendapat Madzhab Imam Malik
Menurut pendapat ulama’ pengikut madzhab Maliki bahwasanya pahala puasa, shalat sunnah dan bacaan al-Qur’an adalah tidak bisa sampai kepada mayit. Keterangan kitab Majmu’ Fatawa juz XXIV hal.314-315,
وَاَمَّاالصِّـيَامُ عَنْهُ وَصَلاَةُ التَّطَوُعِ عَنْهُ وَقِرَائَةُ اْلقُرْأَنِ عَنْهُ فَهٰذَا قَوْلاَنِ لِلْعُلَمَاءِ : اَحَدُهُمَا : يَـنْـتَـفِعُ بِهِ وَهُوَ مَذْهَبُ اَحْمَدَ وَأَبِىْ حَنِيْفَةَ وَغَيْرِهِمَا وَبَعْضُ اَصْحَابِ الشَّافِعِى وَغَيْرِهِمْ وَالثَّانِىْ : لاَتَصِلُ اِلَيْـهِ وَهُوَ اَلْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِى
Artinya : Adapun puasa, shalat sunnah, membaca al-Qur’an ada dua pendapat :
-Mayit bisa mengambil manfaat dengannya, pendapat ini menurut Imam Ahmad, Abu Hanifah dan sebagian sahabat Syafi’i yang lain
-Tidak sampai kepada mayit, menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik dan syafi’i.
Demikianlah beberapa pendapat ulama’ mengenai hukum selametan 1-7/40/100 hari/haul. Meskipun pendapatnya berbeda-beda mereka pun (para ulama’) saling menghargai dan menghormati perbedaan tersebut dan kesemuanya itu masing-masing memiliki tendensi atau dasar sendiri-sendiri.
Oleh karena itu marilah kita selalu berusaha meningkatkan profesionalisme kita, belajar bersikap lebih dewasa, dalam menyikapi setiap perbedaan kita harus saling menghargai dan menghormati, karena suatu perbedaan adalah rahmah bagi kita semuanya kalau kita pandai mengambil hikmah darinya, dalam kitab Hasiyah al-Bujairomi juz 9 hal 71. dijelaskan Perbedaan Ulama’ itu Adalah Rahmat
اِ خْـتِـلاَ فُ اْلـعُـلـَمـَاءِ رَحْـمَـةٌ
Dan ingatlah contoh tentang perbedaan pendapat yang langsung diberikan oleh pemilik jagat raya ini, lihat al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 60 s/d 82 juz 16 (kisah perbedaan pendapat antara Nabi Musa dengan Nabi khidzir), oleh karena itu marilah kita selalu menjunjung tinggi sikap saling menghargai dan menghormati, dari situlah akan tercipta kehidupan harmoni dan perdamaian yang bersifat abadi. Amin.
Sumber:
http://santribuntet.wordpress.com/2010/07/17/seputar-budaya-haul-khataman-selamatan-dan-tahlil/
Kenduri Arwah, Tahlilan, dan Yasinan menurut para Ulama
Hal itu merupakan pendapat orang – orang yang kalap dan gerasa – gerusu tanpa ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yang mau bersedekah pada muslimin?
عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها
ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada Nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits No.1004). Berkata Hujjatul Islam Al Imam Nawawi rahimahullah :
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع
العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
“Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 7 hal 90) Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit. Demikian kebanyakan orang – orang yang kematian, mereka menjamu tamu – tamu dengan sedekah yang pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah.
Lalu mana dalilnya yang mengharamkan makan dirumah duka? Mengenai ucapan para Imam itu, yang dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yang banyak, dan mereka tak mengharamkan itu. Perlu diketahui bahwa Makruh adalah jika dihindari mendapat pahala dan jika dilakukan tidak mendapat dosa.
1. Ucapan Imam Nawawi yang anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (Ghairu Mustahibbah) bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yang dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram, dan yang dimaksud adalah mengundang orang dengan mengadakan jamuan makanan (ittikhaadzuddhiyafah), beda dengan tahlilan masa kini bukanlah jamuan makan, namun sekedar makanan ala kadarnya saja, bukan jamuan. Hal ini berbeda dalam syariah, jamuan adalah makan besar semacam pesta yang menyajikan bermacam makanan, ini tidak terjadi pada tahlilan manapun dimuka bumi, yang ada adalah sekedar besek atau sekantung kardus kecil berisi aqua dan kue – kue atau nasi sederhana sekedar sedekah pada pengunjung, maka sedekah pada pengunjung hukumnya sunnah.
2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yang keluarga duka yang membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yang makruh” (bukan haram).
Semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yang menyuguhkan makanan untuk tamu yang mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yang dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah, lihat ucapan beliau, bid’ah buruk yang makruh, bukan haram, jika haram maka ia akan menyebutnya : Bid’ah munkarah muharramah, atau cukup dengan ucapan Bid’ah munkarah, maka itu sudah mengandung makna haram, tapi tambahan kalimat makruh, berarti memunculkan hukum
sebagai penjelas bahwa hal itu bukan haram.
Entahlah mereka itu tak faham bahasa atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu tak faham hadits dan menyelewengkan makna.
Dalam istilah – istilah pada hukum syariah, sungguh satu kalimat menyimpan banyak makna, apalagi ucapan para Muhaddits dan para Imam, dan hal semacam ini sering tak difahami mereka yang dangkal dalam pemahaman syariahnya.
3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Gubernur menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan.
Inilah yang dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya haram, kebiasaan ini sering dilakukan dimasa jahiliyah jika ada yang wafat.
4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yang makruh (bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dengan ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun
beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya.
Orang – orang wahabi (gelar bagi penganut faham ibn abdul wahhab) menafsirkan kalimat “makruh” adalah hal yang dibenci, tentu mereka salah besar, karena Imam – Imam ini berbicara hukum syariah,
bukan bicara dicintai atau dibenci, makna makruh berbeda secara bahasa dan secara syariah, maknanya secara bahasa adalah sesuatu yang dibenci, namun dalam syariah adalah hal yang jika dilakukan tidak dapat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala. Namun mereka
ini tidak bisa membedakan mana buku yang membahas masalah bahasa, mana buku yang membahas hukum syariah.
5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul di malam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam – macam, hal ini makruh, (bukan haram).
Dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yang dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu – tamu, ini yang ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.
Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yang pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yang memakruhkannya bahkan mendapat pahala jika
dilakukan.
Yang lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata haram..haram.. dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.
Dan masa kini pelarangan atau pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah duka adalah menambah kesusahan keluarga duka, bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak suguhkan apa – apa ..?, datang dari luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota datang dengan lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu. Bahkan Rasul saw memerintahkan diadakan makanan dirumah duka, sebagaimana hadits beliau saw ketika didatangkan kabar wafatnya Jakfar bin Abi Thalib : “Buatkan makanan untuk keluarga (alm) Jakfar, sungguh mereka sedang ditimpa hal – hal yang menyibukkan mereka” (Musnad Ahmad dll), hadits ini justru menunjukkan bahwa Rasul saw memerintahkan sahabat membuat makanan untuk mereka. Kenapa? karena pasti banyak tamunya yang menyambanginya.
Mereka membalik makna hadits ini dengan mengatakan bahwa hadits ini dalil bahwa keluarga mayyit tak boleh menyiapkan makanan, namun mereka lupa bahwa hadits ini justru perintah Rasul saw agar disiapkan makanan dirumah duka, karena beliau saw bukan mengatakan tidak boleh makan dirumah Jakfar, tapi justru buatkan makanan, dan perintahnya jamak, Ishna’uu.. yaitu : “wahai kalian (bukan untuk satu orang), ramai ramailah membuat makanan untuk keluarga Jakfar karena mereka sedang ditimpa hal yang menyibukkan mereka”. Apa? para tamu.
Didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, Hasan, Annafl, Sunnah, Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan). Imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yang bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh.
Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb. Beliau akan berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya.
Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi, fahamilah bahwa Bid’ah menurut WAHABI sangat jauh berbeda dengan BID’AH menurut Imam Nawawi, Imam Nawawi berpendapat bid’ah terbagi 5 bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (rujuk Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 164- 165).
Maka sebelum mengambil dan menggunting ucapan Imam Nawawi, fahami dulu apa maksud bid’ah dalam ta’rif Imam Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh Imam Nawawi. Bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam bid’ah itu ada yang mubah dan yang makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna Bid’ah yang mubah atau yang makruh, kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yang haram).
Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara Mubah dan makruh. Untuk ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah Makruhah, (Bid’ah tercela yang makruh), karena Bid’ah tercela itu tidak semuanya haram. Sebagaimana masa kini sajadah yang padanya terdapat hiasan – hiasan warna – warni membentuk pemandangan atau istana – istana dan burung – burung misalnya, ini adalah bid’ah buruk (munkarah) yang makruh, tidak haram untuk memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah semacam itu, namun bid’ah buruk yang makruh, tidak haram, karena shalatnya tetap sah.
Hukum darimana makruh dibilang haram?, makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan). Dan yang dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.
Berkata Shohibul Mughniy :
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا ل إلى شغلهم وتشبها
بصنع أهل الجاهلية
Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru – niru perbuatan jahiliyah. (Almughniy Juz 2 hal 215)
Lalu Shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن
البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
Bila mereka melakukannya karena ada sebab atau hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara yang hadir mayyit mereka ada yang berdatangan dari pedesaan, dan tempat – tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu (Almughniy Juz 2 hal 215).
(disini hukumnya berubah, yang asalnya makruh, menjadi mubah bahkan hal yang mulia, karena tamu yang berdatangan dari jauh, maka jelaslah kita memahami bahwa pokok permasalahan adalah pada keluarga duka dan kebutuhan tamu) Dijelaskan bahwa yang dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, sebagian ulama mengharamkannya, namun beda dengan orang datang karena ingin menjenguk, lalu shohibulbait menyuguhi ala kadarnya, bukan kebuli dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.
Baiklah jika sebagian saudara kita masih belum tenang, maka riwayat dibawah ini semoga dapat menenangkan mereka :
Dari Ahnaf bin Qeis ra berkata : “Ketika Umar ra ditusuk dan terluka parah, ia memerintahkan Shuhaib untuk membuat makanan untuk orang – orang” (Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar pada Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 No.709, dan ia berkata sanadnya Hasan) Dari Thaawus ra : “Sungguh mayyit tersulitkan di kubur selama 7 hari, maka merupakan sebaiknya mereka memberi makan orang – orang selama hari hari itu” (Diriwayatkan Oleh Al Hafidh Imam Ibn Hajar pd Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 dan berkata sanadnya Kuat).
Mengenai pengadaan makanan dan jamuan makanan pada rumah duka telah kuat dalilnya sebagaimana sabda Rasul saw : “Buatlah untuk keluarga Jakfar makanan sungguh mereka telah ditimpa hal yang membuat mereka sibuk” (diriwayatkan oleh Al Imam Tirmidziy No.998 dengan sanad hasan, dan di Shahihkan oleh Imam Hakim Juz 1/372)
Demikian pula riwayat shahih dibawah ini :
فلما احتضرعمر أمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل للناس طعام
، فيطعموا حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جئ بالطعام ووضعت الموائد
! فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه ، فقال العباس بن عبد المطلب : أيها الناس
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد مات فأكلنا بعده وشربنا ومات أبو بكر فأكلنا بعده
وشربنا وإنه لابد من الاجل فكلوا من هذا الطعام ، ثم مد العباس يده فأكل ومد الناس
أيديهم فأكلوا
Ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan – hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib ra :
Wahai hadirin.., sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar ra dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau ra mengulurkan tangannya dan makan, maka orang – orang pun mengulurkan tangannya masing – masing dan makan. (Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)
Kini saya ulas dengan kesimpulan :
1. Membuat jamuan untuk mengundang orang banyak dengan masakan yang dibuat oleh keluarga mayyit hukumnya makruh, walaupun ada yang mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya Makruh.
2. Membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab : Betul (Shahih Bukhari hadits No.1322), bukankah wanita ini mengeluarkan uangnya untuk bersedekah..?,
3. Menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yang datang saat kematian adalah hal yang mubah, bukan makruh, misalnya sekedar teh, atau kopi sederhana.
4. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dengan tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau makanan, dengan landasan sabda Rasul saw : “Buatlah makanan untuk keluarga Jakfar, sungguh mereka sedang dirundung kesedihan”
5. Makan makanan yang dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yang mengharamkannya, bahkan sebagaimana riwayat yang akan saya sebutkan bahwa Umar bin Khattab ra memerintahkan untuk menjamu tamunya jika ia wafat
6. Boleh saja jika keluarga mayyit membeli makanan dari luar atau catering untuk menyambut tamu – tamu, karena pelarangan akan hal itulah yang akan menyusahkan keluarga mayyit, yaitu memasak dan merepotkan mereka.
7. Makruh jika membuat hidangan besar seperti hidangan pernikahan demi menyambut tamu dirumah duka Mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I’anatutthaalibin, yang diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar), sebagaimana dijelaskan “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan. Namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih 1.000 ekor kerbau selama 40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat pahala.
Demikian, bagaimana menurut Anda?
Sumber:http://santribuntet.wordpress.com/2011/04/08/kenduri-arwah-tahlilan-menurut-ulama/
Langganan:
Postingan (Atom)