Kami tidak lebih hanya para musafir kecil. Berjalan Keluar masuk melewati jalan-jalan di belantara mazhab. Di sini berhati-hatilah, siapa saja bisa tersesat dan berputar-putar dalam kesia-siaan. Banyak papan nama, baik yang baru dipasang atau yang sudah lama ada. Memilih jalan ini begitu mudah dan bahkan membanggakan bagi siapa saja yang tidak teliti. Akhirnya yang kami pilih adalah jalan dengan 'papan nama' yang sudah ada sejak lama. Inilah jalan kami, jalan ahlu al-sunnah wa al-jama'ah, jalan konservative, jalannya para pendahulu yang telah merintis dan menempuh jalan estafet dari Rasulullah SAW. Adapun jalan dengan papan nama yang baru dipasang kami ucapkan selamat tinggal. Biarkan kami memilih jalan ini, jalan tradisi Islam turun temurun yang sambung menyambung sanad: murid dari guru, dari guru, dari guru.... dari salafuna Shalih, dari tabi'ut tabi'in, dari tabi'in, dari sahabat, dari rasulullah Saw.
Inilah jalan kami.... Ahlussunnah Waljama'ah


Ju Panggola, Pejuang dan Wali Gorontalo

Ia dikenal sebagai pelindung rakyat, ulama dan Waliyullah. Makamnya yang selalu penuh oleh para peziarah, harum semerbak setiap hari.


Kaum muslimin di Gorontalo, Sulawesi, niscaya tidak ada yang tidak kenal nama Ju Panggola. Ia adalah seorang Ulama, Pejuang dan Waliyullah yang masyhur di abad ke 16. Pendek kata Ju Panggola adalah tokoh kharismatik yang makamnya dikeramatkan, dan sampai sekarang selalu diziarahi banyak orang. Sebagai penghormatan, makam Ju Panggola dibangun di balik mihrab Masjid Quba – sebuah masjid mungil, di puncak sebuah bukit dengan panorama yang indah di sekitarnya.
Menurut Farha Daulima, Ketua Badan Pengelola Lembaga Pariwisata Banthayo Pobo’ide, Ju Panggola sesungguhnya adalah gelar, yang artinya ”tokoh yang dituakan”. Orang Gorontalo di zaman dulu selalu mengenal Ju Panggola sebagai kakek tua yang berjubah putih yang panjangnya sampai ke lutut. Ia juga dikenal sebagai Ilato. Alias “Kilat”, karena perjuangan melawan penjajah Belanda ia mampu menghilang, dan kembali muncul jika negeri dalam keadaan gawat. Karena jasa-jasanya, Ju Panggola mendapat gelar adat “Ta Lo’o Baya Lipu” atau orang yang berjasa kepada rakyat”, sebagai lambang kehormatan dan keluhuran negeri.
Ju Panggola juga dikenal sebagai penyebar agama Islam. Berkat penguasaan ilmu agama yang tinggi, ia tidak saja dikenal sebagai Ulama, tapi juga sebagai Waliyullah. Dan sebagai pejuang, ia juga dikenal sebagai pendekar yang piawai dalam ilmu persilatan yang di Gorontalo disebut Langga. Berkat kesaktiannya, ia tidak perlu melatih murid-muridnya secara fisik, melainkan cukup dengan meneteskan air kepada kedua bola mata sang murid, dan setelah itu, kontan sang murid mendapatkan jurus-jurus silat yang mengagumkan.
Tapi ada versi legenda lain yang menyebutkan bahwa Ilato adalah “Raja”. Namun tidak ada yang dapat memastikan, apakah Ilato Ju Panggola adalah juga Raja Ilato putra Raja Amai yang bergelar “Matoladula Kiki” yang memerintah kerajaan Gorontalo pada 1550 – 1585, dan menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Yang pasti, pada sebuah batu prasasti di bukit yang juga merupakan fondasi masjid  Quba, tertera tulisan: Masjid Quba, tempat makam Ta’awuliya Raja Ilato Ju Panggola, Ta Lo’o Baya Lipu, 1673 M, wafat Ahad 1 Muharam 1084 H.
Seperti halnya banyak legenda, sebuah versi mengatakan, Ju Panggola wafat di Mekah. Tapi versi lain menyebutkan, ia tidak wafat, melainkan raib, menghilang secara gaib. Lantas bagaimana dengan makam di balik mihrab masjid Quba yang di yakini sebagai makam Ju panggola? Menurut Farha Daulima, makam tersebut dibangun oleh warga setempat hanya berkat adanya keajaiban di tanah tempat makam itu kini berada.
Tanah yang berwarna putih itu baunya sangat harum. Menurut penuturan orang-orang tua dulu, Ju Panggola pernah berwasiat, “Dimana ada bau harum dan tanahnya berwarna putih di situlah aku,” di sana pula dulu Ju Panggola tinggal sekaligus berkhalwat. Itulah sebabnya warga setempat menganggap, disana pula Ju Panggola “beristirahat panjang.”

Makam Ju Panggola terdapat dalam sebuah bilik berukuran 3 x 3 M, lantainya dari keramik warna putih, sewarna dengan kain kelambu penutup tembok dinding yang menjuntai menyentuh lantai. Sebuah kipas angin menempel di plafon makam.
Menurut Munain Ismail, si penjaga makam, tanah makam berwarna putih dan harum itu sering diambil oleh para peziarah, karena mereka percaya, sejumput tanah makam itu dapat menjadi obat. Bahkan ada saja gadis-gadis yang membawa pulang segumpal tanah tersebut untuk digunakan sebagai bedak lulur, bahkan diyakini dapat mempercantik diri dan dapat mempermudah mendapat jodoh.
Seorang gadis remaja tampak sedang mengais dan menagmbil tiga genggam tanah makam Ju Panggola itu sambil membaca shalawat, “Mudah-mudahan ada manfaatnya,” ujar sang gadis, Sri Susanti Laumewa, tersenyum. Anehnya walau sering diambil oleh para peziarah, tanah makam tersebut tidak berlubang atau berkurang.
Jika musim paceklik tiba, banyak orang berziarah kesana. Di makam Ju Panggola yang dikeramatkan itu mereka berkhalwat selama tujuh hari sambil berpuasa, membaca shalawat dan berdoa dengan khusuk. Ada pula sebagian peziarah yang melakukan ritus khusus dengan meletakkan sebotol air putih di makam sang Waliyullah selama tiga hari tiga malam. Mereka berharap air itu menjadi obat untuk segala macam penyakit. Wallahu’ A’lam.

Sumber kisah dari Alkisah Nomor 19 / 13 –26 September 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kumpulan Mahalul Qiyam MP3

Al Quran Online