
Kasidah
Burdah adalah salah satu karya paling populer dalam khazanah sastra
Islam. Isinya, sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad SAW, pesan moral,
nilai-nilai spiritual, dan semangat perjuangan, hingga kini masih
sering dibacakan di sebagian pesantren salaf dan pada peringatan Maulid
Nabi. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti
Persia, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pasthun, Melayu, Sindi, Inggris,
Prancis, Jerman dan Italia.
Pengarang Kasidah Burdah ialah
Al-Bushiri (610-695H/ 1213-1296 M). Nama lengkapnya, Syarafuddin Abu
Abdillah Muhammad bin Zaid al-Bushiri. Dia keturunan Berber yang lahir
di Dallas, Maroko dan dibesarkan di Bushir, Mesir, Dia seorang murid
Sufi besar, Imam as-Syadzili dan penerusnya yang bernama Abdul Abbas
al-Mursi – anggota Tarekat Syadziliyah. Di bidang ilmu fiqih, Al Bushiri
menganut mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab fiqih mayoritas di
Mesir.
Di masa kecilnya, ia dididik oleh ayahnya sendiri
dalam mempelajari Al Quran di samping berbagai ilmu pengetahuan lainnya.
Kemudian ia belajar kepada ulama-ulama di zamannya. Untuk memperdalam
ilmu agama dan kesusateraan Arab ia pindah ke Kairo. Di sana ia menjadi
seorang sastrawan dan penyair yang ulung. Kemahirannya di bidang sastra
syair ini melebihi para penyair pada zamannya. Karya-karya kaligrafinya
juga terkenal indah.
Sebagian ahli sejarah menyatakan, bahwa ia
mulanya bekerja sebagai penyalin naskah-naskah. Louis Ma’luf juga
menyatakan demikian di dalam Kamus Munjibnya.
Sajak-sajak pujian
untuk Nabi dalam kesusasteraan Arab dimasukkan ke dalam genre al-mada’ih
an-nabawiyah, sedangkan dalam kesusasteraan-kesusasteraan Persia dan
Urdu dikenal sebagai kesusasteraan na’tiyah (kata jamak dari na’t, yang
berarti pujian). Sastrawan Mesir terkenal, Zaki Mubarok, telah menulis
buku dengan uraian yang panjang lebar mengenai al-mada’ih an-nabawiyah.
Menurutnya, syair semacam itu dikembangkan oleh para sufi sebagai cara
untuk mengungkapkan perasaan religius yang Islami.
Kasidah Burdah
terdiri atas 160 bait (sajak), ditulis dengan gaya bahasa (usiub) yang
menarik, lembut dan elegan, berisi panduan ringkas mengenai kehidupan
Nabi Muhammad SAW, cinta kasih, pengendalian hawa nafsu, doa, pujian
terhadap Al Quran, Isra’ Mi’raj, jihad dan tawasul.
Dengan
memaparkan kehidupan Nabi secara puitis, AI-Bushiri bukan saja
menanamkan kecintaan umat Islam kepada- Nabinya, tetapi juga mengajarkan
sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral kepada kaum Muslimin. Oleh
karenanya, tidak mengherankan jika kasidah Burdah senantiasa dibacakan
di pesantren-pesantren salaf, dan bahkan diajarkan pada tiap hari Kamis
dan Jumat di Universitas AI-Azhar, Kairo.

Al-Bushiri hidup pada suatu masa transisi perpindahan kekuasaan dinasti Ayyubiyah ke tangan dinasri Mamalik Bahriyah. Pergolakan
politik terus berlangsung, akhlak masyarakat merosot, para pejabat
pemerintahan mengejar kedudukan dan kemewahan. Maka munculnya kasidah
Burdah itu merupakan reaksi terhadap situasi politik, sosial, dan
kultural pada masa itu, agar mereka senantiasa mencontoh kehidupan Nabi
yang bertungsi sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik),
mengendalikan hawa nafsu, kembali kepada ajaran agama yang murni, Al
Quran dan Hadis.
Sejarah Ringkas Kasidah Al-Burdah
Al-Burdah menurut etimologi banyak mengandung arti, antara lain :
1.
Baju (jubah) kebesaran khalifah yang menjadi salah satu atribut
khalifah. Dengan atribut burdah ini, seorang khalifah bias dibedakan
dengan pejabat negara lainnya, teman-teman dan rakyatnya.
2. Nama dari kasidah yang dipersembahkan kepada Rasulullah SAW yang digubah oleh Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma.
Pada
mulanya, burdah (dalam pengertian jubah) ini adalah milik Nabi Muhammad
SAW yang diberikan kepada Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma, seorang
penyair terkenal Muhadramin (penyair dua zaman: Jahiliyah dan Islam).
Burdah yang telah menjadi milik keluarga Ka’ab tersebut akhirnya dibeli
oleh Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan seharga duapuluh ribu dirham, dan
kemudian dibeli lagi. oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dari dinasti
Abbasiyah dengan harga empat puluh ribu dirham. Oleh khalifah, burdah
itu hanya dipakai pada setiap shalat fd dan diteruskan secara turun
temurun.
Riwayat pemberian burdah oleh Rasulullah SAW kepada
Ka’ab bin Zuhair bermula dari Ka’ab yang menggubah syair yang senantiasa
menjelek-jelekkan Nabi dan para sahabat. Karena merasa terancam
jiwanya, ia lari bersembunyi untuk menghindari luapan amarah para
sahabat. Ketika terjadi penaklukan Kota Makkah, saudara Ka’ab yang
bernama Bujair bin Zuhair mengirm surat kcpadanya, yang isinya antara
lain anjuran agar Ka’ab pulang dan menghadap Rasulullah, karena
Rasulullah tidak akan membunuh orang yang kembali (bertobat). Setelah
memahami isi surat itu, ia berniat pulang kembali ke rumahnya dan
bertobat.
Kemudian Ka’ab berangkat menuju Madinah. Melalui
‘tangan’ Abu Bakar Siddiq, di sana ia menyerahkan diri kepada Rasulullah
SAW. Ka’ab memperoleh sambutan penghormatan dari Rasulullah. Begitu
besarnya rasa hormat yang diberikan kepada Ka’ab, sampai-sampai
Rasulullah melepaskan burdahnya dan memberikannya kepada Ka’ab.
Ka’ab
kemudian menggubah kasidah yang terkenal dengan sebutan Banat Su’ad
(Putri-putri Su’ad), terdiri atas 59 bait (puisi). Kasidah ini disebut
pula dengan Kasidah Burdah. la ditulis dengan indahnya oleh kaligrafer
Hasyim Muhammad al-Baghdadi di dalam kitab kaligrafi-nya, Qawaid al-Khat
al-Arabi.
Di samping itu, ada sebab-sebab khusus dikarangnya
Kasidah Burdah itu, yaitu ketika al-Bushiri menderita sakit lumpuh,
sehingga ia tidak dapat bangun dari tempat tidurnya, maka dibuatnya
syair-syair yang berisi pujian kepada Nabi, dengan maksud memohon
syafa’afnya. Di dalam tidurnya, ia bermimpi berjumpa dengan Nabi
Muhammad SAW. di mana Nabi mengusap wajah al-Bushiri, kemudian Nabi
melepaskan jubahnya dan mengenakannya ke tubuh al-Bushiri, dan saat ia
bangun dari mimpinya, seketika itu juga ia sembuh dari penyakitnya.
Pemikiran-Pemikiran
Bushiri dalam Al-Burdah Burdah dimulai dengan nasib, yaitu ungkapan
rasa pilu atas dukacita yang dialami penyair dan orang yang dekat
dengannya, yaitu tetangganya di Dzu Salam, Sudah menjadi kelaziman bagi
para penyair Arab klasik dalam mengawali karya syairnya selalu merujuk
pada tempat di mana ia memperoleh kenangan mendalam dalam hidupnya,
khususnya kampung halamannya. Inilah nasib yang diungkapkan Bushiri pada
awal bait :
Amin tadzakurin jiranin bi Dzi Salami
Mazajta dam ‘an jara min muqlatin bi dami?
Tidakkah kau ingat tetanggamu di Dzu Salam
Yang air matanya tercucur bercampur darah?
Kemudian
ide-ide al-Bushiri yang penting dilanjutkan dengan untaian-untaian yang
menggambarkan visi yang bertalian dengan ajaran-ajaran tentang
pengendalian hawa nafsu. Menurut dia, nafsu itu bagaikan anak kecil,
apabila diteruskan menetek, maka ia akan tetap saja suka menetek. Namun
jika ia disapih, ia pun akan berhenti dan tidak suka menetek lagi.
Pandangan al-Bushiri tentang nafsu tersebut terdapat pada bait ke-18,
yang isinya antara lain :
Wa an-nafsu kattifli in tuhmiihu syabba ‘ala
Hubbi ar-radha’i wa in tufhimhu yanfatimi
Nafsu bagaikan anak kecil, yang bila dibiarkan menetek
Ia akan tetap senang menetek. Dan bila disapih ia akan melepaskannya.
Dalam
ajaran pengendalian hawa nafsu, al-Bushiri menganjurkan agar kehendak
hawa nafsu dibuang jauh-jauh, jangan dimanjakan dan dipertuankan, karena
nafsu itu sesat dan menyesatkan. Keadaan lapar dan kenyang,
kedua-duanya dapat merusak, maka hendaknya dijaga secara seimbang.
Ajakan dan bujukan nafsu dan setan hendaknya dilawan sekuat tenaga,
jangan diperturutkan (bait 19-25).
Selanjutnya, ajaran Imam
al-Bushiri dalam Burdahnya yang terpenting adalah pujian kepada Nabi
Muhammad SAW. la menggambarkan betapa Nabi diutus ke dunia untuk menjadi
lampu yang menerangi dua alam : manusia dan Jin, pemimpin dua kaum :
Arab dan bukan Arab. Beliau bagaikan permata yang tak ternilai, pribadi
yang tertgosok oleh pengalaman kerohanian yang tinggi. Al-Bushiri
melukiskan tentang sosok Nabi Muhammad seperti dalam bait 34-59 :
Muhammadun sayyidui kaunain wa tsaqaulai
Ni wal fariqain min urbln wa min ajami
Muhammad adalah raja dua alam : manusia dannjin
Pemimpin dua kaum : Arab dan bukan Arab.
Pujian
al-Bushiri pada Nabi tidak terbatas pada sifat dan kualitas pribadi,
tetapi mengungkapkan kelebihan Nabi yang paling utama, yaitu mukjizat
paling besar dalam bentuk Al Quran, mukjizat yang abadi. Al Quran adalah
kitab yang tidak mengandung keraguan, pun tidak lapuk oleh perubahan
zaman, apalagi ditafsirkan dan dipahami secara arif dengan berbekal
pengetahuan dan makrifat. Hikmah dan kandungan Al Quran memiliki
relevansi yang abadi sepanjang masa dan selalu memiliki konteks yang
luas dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat temporal. Kitab Al
Quran solamanya hidup dalam ingatan dan jiwa umat Islam.

Selain
Kasidah Burdah, al-Bushiri juga menulis beberapa kasidah lain di
antaranya a!-Qashidah al-Mudhariyah dan al-Qashldah al-Hamziyah. Sisi
lain dari profil al-Bushiri ditandai oleh kehidupannya yang sufistik,
tercermin dari kezuhudannya, tekun beribadah, tidak menyukai kemewahan
dan kemegahan duniawi.
Di kalangan para sufi, ia termasuk dalam
deretan sufi-sufi besar. Sayyid Mahmud Faidh al-Manufi menulis di dalam
bukunya, Jamharat al-Aulia. bahwa al-Bushiri tetap konsisten dalam
hidupnya sebagai seorang sufi sampai akhir hayatnya. Makamnya yang
terletak di Iskandaria, Mesir, sampai sekarang masih dijadikan tempat
ziarah. Makam itu berdampingan dengan makam gurunya, Abu Abbas al-Mursi.
Oleh Imam Saiful Mu’minin AR*
*Penulis adalah anggota Forum Mubahasah Seni dan Budaya LEMKA,
Jakarta.
Copypaste dari
SINI
All friends can read or download all 10 chapter of Burdah here :
Burdah Bab I
Burdah Bab II
Burdah Bab III
Burdah Bab IV
Burdah Bab V
Burdah Bab VI
Burdah Bab VII
Burdah Bab VIII
Burdah Bab IX
Burdah Bab X
selamat menikmati
Sumber: http://www.facebook.com/notes/rasyid-saja/kasidah-burdah-by-syarafuddin-abu-abdillah-muhammad-bin-zaid-al-bushiri-610-695-/416944427045